Langsung ke konten utama

Tradisi di Kampung Suami

Sudah sewajarnya ketika dua orang menikah, masing-masing akan membutuhkan adaptasi dengan kebiasaan satu sama lain, atau kebiasaan keluarganya masing-masing. Begitu pula saya, ketika menikah dan masuk ke keluarga suami, saya harus beradaptasi dengan keluarga suami. Salah satunya adaptasi dengan keluarga besar suami di kampung. Maklum, sejak lahir saya sudah jadi "anak kota", dan keluarga besar saya semua tinggal di kota besar, jadi memang saya nggak punya kampung, makanya kurang familiar sama kehidupan di desa. Hehe..


Keluarga besar suami hampir semuanya seumur hidupnya tinggal di salah satu desa di Kabupaten Magetan. Di kampung suami ini, masyarakatnya kebanyakan bekerja di sawah atau kebun, atau merawat binatang ternak. Suasana di desa juga sangat asri dan tenang, sebenarnya cocok untuk healing, menjauh sementara dari kerasnya hidup di kota. Hehe.. Apalagi tempat wisata di dekat desa ini cukup banyak. Telaga Sarangan yang merupakan tempat wisata kebanggan Magetan saja hanya berjarak 10 menit perjalanan dengan mobil atau motor dari desa ini. 


Pemandangan di depan rumah mertua di kampung. Sejuk, asri, tenang, cocok buat merenung. Hehe.. 


Biasanya di desa ada lebih banyak tradisi yang diwariskan turun temurun dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan desa ini, ada beberapa tradisi yang untuk saya tidak familiar, bahkan ada yang sempat membuat saya terheran-heran. Tapi namanya juga tradisi, masih terus berusaha dilestarikan oleh keluarga suami selama tidak keluar dari batas norma maupun aturan agama. 



Tradisi "Balas Amplop"


Ketika ada yang menikah, sudah menjadi kebiasaan di Indonesia bahwa yang hadir memberikan hadiah ataupun "amplop" untuk mempelai. Begitu pula ketika saya menikah dengan suami, banyak sekali amplop yang kami terima, termasuk dari keluarga jauh maupun tetangga-tetangga mertua dari Magetan. Kebetulan saat pernikahan saya, suami menyewa sebuah bus untuk mengantar keluarga besar dan tetangga dekat dari Magetan ke Bandung, jadi memang banyak kerabat mertua yang hadir meskipun pesta diadakan di Bandung.


Keesokan hari setelah selesai acara resepsi, saya dan suami membongkar amplop yang kami terima saat acara resepsi. Saya dengan cepat langsung membuka saja amplop-amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Namun suami mengingatkan untuk memisahkan amplop yang diberi nama. Awalnya saya nurut saja dan memisahkan amplop yang ada namanya. Namun saya bingung ketika suami mencatat nama-nama tersebut beserta nominal uang yang ada di dalam amplopnya masing-masing. 


Ilustrasi kotak angpao di pernikahan

Sumber gambar: https://m.liputan6.com/citizen6/read/2390620/periksa-teliti-kotak-angpao-pernikahan-kamu-ini-alasannya



Ternyata, setelah dijelaskan oleh suami, ada tradisi terkait dengan "ngamplop" di undangan ini. Saya kurang tahu sih tradisi ini berlaku seluas apa, apakah hanya di kampung suami, atau di Jawa Timur secara luas, atau malah ada juga di daerah lain. Tradisinya adalah, uang sumbangan yang diberikan tersebut harus dibalas dengan nominal yang sama nanti ketika pemberi tersebut juga mengadakan hajatan. Misalkan di pernikahan saya bapak A yang adalah tetangganya mertua menyumbang uang sebesar Rp. 150.000,-, maka nanti ketika bapak A mengadakan acara juga, maka mertua saya harus membalas dengan amplop uang sebesar Rp. 150.000,-.


Itulah kenapa yang memberi harus menulis nama di amplopnya, dan yang menerima harus mencatat, supaya nanti saat kerabat atau tetangga yang dulu menyumbang punya hajatan, uang tersebut bisa "dikembalikan". Memang jadinya uang itu seperti pinjaman yang harus dikembalikan ya? Hehe.. Makanya saya agak bingung dengan tradisi yang belum pernah saya dengar sebelumnya ini. Tapi namanya juga tradisi turun temurun, selama semua sama-sama ikhlas ya nggak masalah.


Oh iya, saya pernah diceritakan suami juga, ternyata memang yang menyumbang pun ingat berapa yang dia masukkan ke dalam amplop. Karena pernah ada kejadian, uang "balasan" yang diterimanya lebih sedikit daripada yang dulu dia berikan. Lalu karena merasa kurang, pihak yang baru menyelenggarakan hajatan mendatangi pihak yang sumbangannya kurang itu untuk meminta kekurangannya. Hhmmm,, saya mendengarnya kok agak gimanaaa gitu ya. Hehehe… 



Tradisi Lebaran


Lebaran di kampung merupakan hal baru untuk saya sejak menikah, ya karena saya tidak punya kampung halaman. Hehe…  Di desa ini, ada yang sedikit berbeda dalam tradisi berlebarannya. Jika biasanya silaturahim ke rumah kerabat atau tetangga dilakukan setelah salat ied, tidak begitu tradisi yang dilakukan di sini. Setelah salat ied, warga akan kembali ke rumahnya dan melakukan aktivitas seperti hari biasa. Yang berkebun kembali ke kebun, yang beternak kembali mengurus hewannya, dan sebagainya. Silaturahim ke rumah-rumah kerabat dan tetangga baru dilakukan keesokan harinya, atau lebaran hari kedua.


Cukup aneh untuk saya, karena biasanya saya bersilaturahim sejak selesai salat ied sampai 2 hari setelahnya. Makanya pertama kalinya berlebaran di kampung suami, saya merasa seperti tidak sedang berlebaran ketika selesai salat ied, karena tidak ada keramaian yang terjadi seperti lebaran pada umumnya. Baru keesokan harinya saya merasakan lebaran yang sebenarnya, karena banyak yang berkunjung ke rumah mertua, dan saya pun ikut berkeliling kampung ke rumah kerabat. 


Selain itu, tradisi lain ketika lebaran adalah setiap yang datang silaturahim ke rumah lain selalu membawa plastik berisi mie instan dan gula pasir untuk diberikan ke tuan rumah. Biasanya yang membawakan dan memberikan "bingkisan" itu adalah anak-anak, dan setelah memberi bingkisan mereka akan pulang membawa "angpao" lebaran dari tuan rumah. Selain itu di setiap rumah pasti meja tamunya penuh dengan berbagai makanan ringan, buah, minuman, hingga permen. Karena itu anak-anak saya cukup senang berkeliling kampung karena bisa makan banyak snack dan akhirnya sugar rush. Ibunya kesulitan untuk melarang karena tuan rumah sering "memaksa" anak-anak untuk terus mengambil snack. Haha… Selain itu setelah pulang mereka akan dengan semangat membuka tumpukan angpao di saku mereka dan menghitung uang yang mereka dapatkan. Seru ya lebarannya anak-anak. Hehe… 


Ilustrasi meja tamu di setiap rumah yang didatangi saat lebaran. Penuh snack dan minuman manis yang pasti bikin anak-anak happy

Sumber gambar: https://www.infodantips.com/2019/06/begini-suasana-lebaran-hari-raya-idul-fitri-di-merauke.html?m=1



Terkait dengan bingkisan mie instan dan gula pasir, biasanya kita tidak hanya memberi tapi juga mendapat balasan bingkisan yang sama berisi mie instan dan gula pasir dari kerabat yang sudah kita kunjungi. Jika kebiasaan di tempat lain saat lebaran adalah cukup bertemu sekali, lebaran di kampung ini tidak cukup hanya bertemu sekali melainkan harus saling melakukan kunjungan. Walaupun kita sudah berkunjung dengan membawa bingkisan misalnya ke rumah kerabat A, pada waktu berbeda nanti kerabat A (atau perwakilannya) juga akan berkunjung ke rumah kita dengan membawa bingkisan serupa. Jadi seperti hanya bertukar bingkisan yang isinya sama ya? Hehe…  Karena itulah setiap saya akan balik ke Bandung setelah mudik, mertua akan membawakan banyak mie instan dan gula pasir. Karena di rumah mertua bertumpuk banyak mie instan dan gula pasir hasil bertukar bingkisan lebaran. 



Tradisi Masak Bersama


Ikatan kekeluargaan antar kerabat atau tetangga di desa biasanya memang jauh lebih kuat daripada orang-orang di kota. Gotong royongnya masih sangat dijalankan, termasuk di desa ini. Jika ada yang mengadakan acara hajatan, seringkali untuk makanannya dimasak bersama-sama oleh tuan rumah yang dibantu kerabat ataupun tetangganya. Seperti misalnya beberapa tahun lalu saat adik ipar saya mengadakan syukuran khitan, makanan yang disajikan untuk para tamu dimasak sendiri oleh mertua yang dibantu oleh beberapa kerabat dan tetangga.


Kebetulan mertua memang punya warung makan besar sih di tempat tinggalnya saat ini di Kalimantan Timur, jadi memang sudah terbiasa masak untuk porsi besar. Tapi saya melihat mudah sekali untuk para tetangga maupun kerabat untuk ikut sibuk membantu di dapur mertua. Sambil masak juga terdengar obrolan seru, sehingga masak dalam jumlah besar tidak terlalu terasa melelahkan. 


Ilustrasi kebersamaan saat masak bersama

Sumber gambar: https://www.gatra.com/news-493216-kebencanaan-jogo-tonggo-cara-warga-desa-menjaga-asa-di-kala-bencana.html



Tradisi untuk masak bersama itu ternyata tidak hanya bertahan di kampung. Ketika ke kota pun, kebiasaan itu tetap dipertahankan. Kebetulan kerabat suami cukup banyak yang tinggal sekota dengan saya di Bandung. Karena itu setiap kali saya melahirkan ketiga anak saya dan merencanakan membuat acara aqiqah, ibu mertua yang segera terbang dari Kalimantan begitu mendengar kabar kelahiran cucu-cucu barunya dengan sigap menawarkan diri untuk memasak sendiri kambing aqiqah dengan dibantu oleh kerabat dari desa yang tinggal di Bandung. Padahal sudah saya tawarkan untuk pesan saja ke jasa aqiqah yang banyak tersedia, tapi ibu mertua tetap keukeuh mau memasak sendiri. Sepertinya bukan masalah makanannya, tapi kebersamaan saat memasaknya yang dicari oleh ibu mertua. Ya saya sih senang saja kalau mertua mau masak, soalnya masakan mertua enak! Hehe..



-----------



Itulah beberapa tradisi yang saya lihat ada dan masih terus dilestarikan di kampungnya suami. Tulisan ini dibuat untuk ikut serta dalam Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli 2022.

Komentar

  1. Echa, samaan lho tentang balas amplop. Dulu mamaku juga gitu, tapi lupa kayanya ga sampai dicatat deh, tapi bener soal nanti kalau diundang harus ngasi nominal yang sama hehe.

    Seru ya masak bareng-bareng itu, sama kaya di rumah Ibu Mertua, masih suka masak bareng-bareng

    BalasHapus
  2. tradisi masak bersama ini bagus ya :) jadinya ada kebersamaan dan jadi saling kenal juga saling bantu. tradisi balas amplop sebenarnya menurutku sih baik juga, tapi kalau mengharapkan balasan jadinya agak gimana ya teh

    BalasHapus
  3. Dari kecil baca majalah Bobo selalu iri sama org yg bener2 'pulang kampung' ke desa yg asri dengan sawah2 dan pemandangan yg cantik . Gotong royong, kebersamaannya masih sangat terasa ya ❤️

    BalasHapus
  4. Aduhh very touching membaca tradisi masak bersama yang dilakukan Ibu Mertua Mamah Echa bersama para kerabat dekat di kampung halaman. Kebersamaannya itu lho, priceless. :)

    Btw saya kok jadi teringat kedai nasi di Balikpapan ya, ada yang terkenal banget karena masakannya sedhep. Pemiliknya orang Jawa Timur. Apakah Ibu tersebut adalah Ibu Mertua Teh Echa ya ehehe. :)

    ***
    Pertama membaca paragraf awal, ada kata TELAGA SARANGAN. Ya Allah, saya jadi teringat dulu pas kecil pernah ke sana, sueneeng bangeeet, hawanya dingin, lalu ada kuda yang dinaiki mengelilingi danaunya. Sejak saat itu, belum pernah ke sana lagi. Ehh pas baca tulisan Echa, jadi keingetan dan pengen ke sana, heuuuuu.
    Asiiik banget nih rumah keluarga besar Pak Suami, betul kata Echa, bisa buat HEALING ahahaha. :)

    Terima kasih sudah membagikan tradisi penduduk Magetan, Echa. :)

    BalasHapus
  5. Seru banget ini tradisinya. Kebayang desa yang ramah dengan penduduk yang masih rukun, guyub, dan penuh suasana gotong royong. Jadi ingat waktu masih kecil saya juga sering lebaran di Boyolali. Kota kecil di Jawa Tengah. Waktu itu kalau lebaran rumah juga selalu ramai. Karena keluarga besar datang dan eyang selalu jadi harus sibuk di dapur. Momen-momen seperti itu yang jadi kenangan manis buat saya sampai besar. Sepertinya akan seperti itu untuk anak-anak teteh juga yaaa :)

    BalasHapus
  6. Seru juga ya ada tradisi berbalas amplop dan nominal isinya harus sama. Jangan sampai hilang ya catatannya.
    Seneng ya masih ada rasa gotong royong kalau ada hajatan, masak rame-rame.
    Sejak Mama engga ada, udah jarang kumpul bareng kalau Lebaran, apalagi pandemi. Biasanya tradisinya engga masak rame-rame gitu, tetapi pada bawa makanan dari rumah masing-masing (pot luck). Jadinya suka engga nyambung....hehe...

    BalasHapus
  7. Ih baru banget nih liat di sosmed beredar soal amplop yang langsung dibuka dan dicatat di meja tamu hihihi...
    Tapi sama ya berarti suasana kampung di Jawa dan di Sumatra. Di kampung mamaku juga kalau lagi ada hajatan atau acara kedukaan, orang-orang rame2 masak di belakang rumah.

    BalasHapus
  8. mirip orang Batak tradisi mencatat isi amplop. dulu pas kakak 2 ku menikah aku ingat disuruh catat amplop yg ada namanya. Tapi pengertian aku sih balasnya nggak harus sama persis nominalnya tapi ya kalau yg pernah ngasih itu bikin pesta, kita perlu juga mengusahakan datang ke pesta orang tersebut. nggak tau sekarang ya, tapi dulu itu ya begitulah. kebiasaan masak ramai-ramai juga ada di budaya Batak. jangan 2 semua budaya desa ya begitu itu

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts

Garuda di Dada Timnas -> Salah??

Ada yang mempermasalahkan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas Indonesia. Padahal, timnas Indonesia sendiri lagi berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang Piala AFF 2010.  Ini 100% pendapat pribadi aja yah.. Apa sih yang salah dengan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas? Bukannya dengan adanya lambang Garuda di dada itu berarti mereka yang ada di timnas bangga jadi Indonesia dan bangga bisa berlaga di ajang internasional dengan membawa nama Indonesia? Bukannya dengan membawa lambang Garuda di dada itu berarti mereka akan makin semangat untuk main di lapangan hijau karna membawa nama besar Indonesia? Dan itu berarti Bang BePe dan kawan2 itu akan berusaha lebih keras untuk membuat semua warga Indonesia bangga? Pernah liat timnas maen di lapangan hijau? Pernah liat mereka rangkulan sambil nyanyiin lagi wajib INDONESIA RAYA? Pernah merhatiin ga kalo mereka sering mencium lambang Garuda yang ada di dada mereka setiap abis nyanyiin lagu INDONESIA RAYA? Pernah juga ga merha

Makanan Favorit di Setiap Masa "Ngidam"

Setelah bulan lalu saya gagal setoran karena kesulitan mencari waktu untuk menulis di sela-sela perubahan ritme kehidupan selama ramadan, bulan ini saya tidak mau lagi gagal setoran tulisan. Kebetulan tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang makanan favorit.  Sebenarnya kalau ditanya apa makanan favorit saya, jujur bingung sih jawabnya. Karena saya bisa dibilang pemakan segala. Buat saya makanan hanya ada yang enak atau enak banget. Hehe… Jadi kalau disuruh memilih 1 makanan yang paling favorit sepanjang masa, ya susah. Makanya ketika beberapa minggu belakangan ini saya sering terbayang-bayang satu jenis makanan, saya jadi terinspirasi untuk menjadikan ini sebagai tulisan untuk setoran tantangan bulan ini. Iya, saya memang sedang sering ngidam. Ngidam kurang lebih bisa diartikan keinginan dari seorang ibu hamil terhadap sesuatu, umumnya keinginan terhadap makanan. Ngidamnya setiap ibu hamil juga beda-beda, ada yang ngidamnya jarang tapi ada juga yang sering

Mama sang Wonder Woman

Mama adalah segalanya.. Mama adalah Wonder Woman terhebat yang pernah ada di dunia ini.. :) Di keluargaku, dan sepertinya juga hampir sebagian besar keluarga, mama merupakan sosok yang sangat memegang peranan penting dalam urusan rumah. Segala urusan rumah dari mulai cuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, masak, dan sebagainya itu semuanya mama yang urus.. Anggota keluarga yang lain seperti suami dan anak-anaknya mungkin juga ikut membantu, kadang bantu mencuci, bersih-bersih, ato urusan rumah lainnya. Tapi tetap saja kalau dihitung-hitung, pasti porsinya jauh sama yang biasa dikerjakan mama. Belakangan ini aku lebih sering ada di rumah. Dan dengan semakin seringnya ada di rumah, semakin aku mengerti sibuknya mama di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri. Sebagai seorang anak, pastinya sudah jadi kewajiban aku untuk bantu mama dalam mengurus rumah yang juga aku tinggali. Dengan aku sering ikut membantu mama melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, aku jadi tahu bah