Perasaan adalah suatu hal yang abstrak. Mudah sekali berubah-ubah. Begitu juga dengan perasaan cinta, sangat mudah berubah, naik dan turun. Yang awalnya cinta, lalu berkurang rasa cintanya, tapi bisa kemudian jatuh cinta lagi. Tidak hanya berlaku untuk rasa cinta kepada orang lain, rasa cinta kepada diri sendiri pun mudah berubah. Ada kalanya kita sangat mencintai diri sendiri, tapi ada kalanya kita seperti kehilangan rasa cinta untuk diri sendiri. Itu yang sering saya rasakan, perasaan cinta yang naik turun untuk diri saya sendiri. Ada kalanya saya merasa sangat mencintai diri saya sendiri, tapi di waktu lain terutama ketika ada perasaan lain entah marah, sedih, atau kecewa, saya bisa kehilangan cinta untuk diberikan kepada diri sendiri.
Biasanya saya "kehilangan cinta" untuk diri sendiri ketika ada trigger dari luar yang menyebabkan munculnya emosi negatif. Rasa kesal, marah, sedih, kecewa, takut, itu semua bisa memicu berkurangnya rasa percaya diri yang pada akhirnya mengikis rasa cinta saya kepada diri saya sendiri. Ketika kehilangan cinta untuk diri sendiri, rasanya hari-hari berjalan dengan sangat lambat, sangat berat, dan tidak ada semangat untuk berbuat apa-apa, karena rasanya diri ini sangat tidak berharga.
Kehilangan Cinta Karena Patah Hati
Ketika SMP hingga SMA saya pernah dekat dengan seorang laki-laki. Dekat, tapi tidak pernah ada statement pernyataan cinta ataupun permintaan untuk jadi pacar. Kami intens berkomunikasi (lewat SMS pada masa itu). Saya tahu dia suka sama saya, dan dia juga tahu saya suka sama dia, tapi ya sudah hanya begitu saja, kami tidak berpacaran.
Ketika kelas 2 SMA, hubungan kami mulai merenggang. Komunikasi lewat SMS semakin jarang, bertemu pun semakin jarang karena dia tidak lagi rutin mendatangi pengajian (iya, kami memang bertemu di tempat pengajian). Hingga suatu hari saya mendengar kabar bahwa laki-laki itu ternyata punya pacar di sekolahnya. Saat itu saya masih punya rasa untuk dia, sehingga saat mendengar kabar itu rasanya sakit hati. Sedih, kecewa, dan ada rasa marah juga.
Sebenarnya saya tahu tidak berhak marah karena saya ini bukan siapa-siapa, toh memang kami tidak berpacaran. Tapi saat itu saya langsung merasa tidak berharga. Yah, itu memang pertama kalinya saya patah hati seumur hidup saya, dan saat itu saya masih remaja juga, jadi mungkin responnya lebay. Tapi momen itu masih saya ingat sampai sekarang karena saat itu saya merasa kehilangan cinta untuk diri saya sendiri. Saya merasa tidak berharga, dan tidak layak untuk dicintai. Bahkan dalam diary saya saat itu, saya jelas mengungkapkan rasa benci kepada diri saya sendiri.
Kehilangan Cinta Karena Merasa Gagal
Setelah menikah, beberapa kali juga saya merasa kehilangan cinta untuk diri sendiri dan merasa tidak berharga. Seringnya, perasaan itu muncul ketika saya merasa lelah dan kesulitan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, dan akhirnya merasa gagal menjadi seorang istri ataupun ibu yang baik. Bahkan belum lama ini saya sampai konsultasi ke psikolog saking merasa overwhelmed dengan diri saya sendiri yang mudah sekali berubah mood dan jadi lebih mudah marah terutama kepada anak-anak.
Ketika baru pindah ke rumah sendiri dan mengurus segala sesuatu sendiri (termasuk 1 balita dan 1 bayi), saya sempat mengalami momen kehilangan cinta karena kesulitan beradaptasi. Keinginan untuk menyambut suami pulang dari kantor dengan keadaan rumah rapi malah membuat saya stres. Karena pada kenyataannya sungguh sulit menjaga rumah tetap rapi dengan adanya balita dan bayi yang mulai merangkak. Pada akhirnya saya merasa kecewa dan marah pada diri saya sendiri karena sekedar menjaga rumah rapi ketika suami pulang kerja pun saya tidak mampu. Saya kehilangan kepercayaan diri sekaligus kehilangan cinta untuk diri saya sendiri.
Momen lain adalah ketika saya struggling dengan urusan makan anak-anak. Ketiga anak saya semuanya sempat mengalami masa-masa sulit makan, dan itu adalah masa-masa yang cukup berat buat saya. Anak tetap menolak makan meski sudah 3 menu berbeda saya siapkan. Ditambah kenyataan dan komentar orang lain tentang badan anak saya yang "mungil". Rasanya seperti saya sudah gagal membesarkan anak-anak dengan baik. Lama kelamaan saya berpikir bahwa ketidakmampuan saya dalam memasaklah yang membuat anak-anak susah makan. Saya menyalahkan diri sendiri, dan semakin hilang jugalah kepercayaan diri saya baik sebagai istri maupun ibu. Saya juga merasa tidak berharga karena tidak bisa memberikan makanan yang enak dan bisa diterima oleh suami dan anak-anak. Padahal sebenarnya itu semua hanya ada dalam pikiran saya, suami dan anak-anak yang sudah besar tidak pernah mempermasalahkan masakan saya.
Ada juga momen ketika anak pertama saya "meledak" akibat merasa cemburu dengan kehadiran adik-adiknya. Kebetulan anak pertama jika marah berbicaranya sering melantur, dan pada saat "meledak" itu dia sampai mengucapkan kata-kata "bunda nggak sayang aku", "bunda jahat", "aku nggak mau sama bunda". Lagi-lagi saya merasa bersalah karena tidak bisa membagi perhatian dengan baik sampai anak pertama merasa tersisihkan. Dan kata-kata "bunda jahat" membuat saya merasa bahwa saya memang tidak pantas disayangi. Rasa bersalah kepada anak-anak membuat saya kehilangan rasa cinta kepada diri saya sendiri.
Support System Yang Mengembalikan Cinta
Untungnya, di setiap momen ketika saya merasa kehilangan cinta, suami adalah orang yang berhasil mengembalikan kepercayaan diri saya sehingga saya mampu untuk mencintai diri saya sendiri lagi. Kebetulan saat patah hati di SMA dulu, ada laki-laki yang datang dan menyembuhkan luka di hati saya. Ciieeeā¦ Heheā¦ Dan akhirnya laki-laki itu menikah dengan saya, dan menjadi support system yang paling berpengaruh untuk saya sampai saat ini. Iya, saya dan suami dekat sejak SMA, dan akhirnya menikah setelah 8 tahun dekat.
Setelah menikah pun, setiap kali saya merasa down dalam menjalani peran sebagai istri maupun ibu sampai merasa tidak berharga, suami jugalah yang memberikan dukungan penuh dan meningkatkan kembali kepercayaan diri saya. Dan suami jugalah yang menunjukkan bahwa saya selalu pantas untuk dicintai, meskipun saya memang tidak sempurna. Suami menunjukkan bahwa memang saya memiliki banyak kekurangan sebagai istri maupun ibu, tapi tidak berarti saya tidak berharga.
Suami bukan tipe laki-laki yang bisa berkata manis untuk menghibur saya. Tapi bagi saya itu sama sekali tidak masalah. Cukup suami ada untuk mendengarkan racauan saya ketika merasa rendah diri, ditambah sedikit elusan di punggung dan kepala saya, sudah cukup untuk membuat saya tenang. Tanpa perlu banyak bicara, suami ikut turun tangan mengerjakan pekerjaan rumah yang belum saya selesaikan. Kadang suami membisiki anak-anak untuk memberikan pelukan atau ciuman mereka untuk saya. Dan itu cukup untuk membuat saya kembali merasa dicintai dan berharga.
Perasaan cinta untuk diri saya sendiri yang seringkali naik turun akibat berbagai emosi negatif, dapat dikembalikan oleh support system yang baik, terutama suami. Dengan caranya sendiri, suami dapat mengembalikan rasa percaya diri saya dan membuat saya merasa dicintai dan berharga. Hingga akhirnya rasa cinta untuk diri sendiri yang sempat hilang dapat terisi lagi karena saya menyadari bahwa saya memang berhak dicinta. Bahkan orang-orang di sekeliling saya pun mencintai saya dengan tulus dengan caranya masing-masing.
----------------
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2022 dengan tema "cerita cinta".
So sweet nih support systemnya. Perasaan kehilangan cinta pada diri sendiri ini bisa bahaya kalau keterusan, padahal katanya kan kita harus tahu apa itu dicintai untuk bisa mencintai. Semoga ke depannya bisa tetap saling menjadi support system ya teh dengan paksu.
BalasHapusTehhh ini mah persis saya banget bangettt.. sama saya juga sampai ke psikolog dan masih jatuh bangun juga sampai sekarang dalam menata hati dan hidup. Big hug! Semangatt ya tetehh
BalasHapusMamah Echaaa... Ingin sekali saya memeluk Echa. Semoga Echa diberikan kelancaran dan kemudahan olehNya dalam menghadapi segala tantangan yang ada.
BalasHapusDuh anak sulit makan itu memang membikin down, saya pernah begitu, Echa, sedih banget rasanya. Namun semua akan berlalu, sepertinya hampir semua anak di dunia ini melalui fase ogah makan di usia balita. Semangat ya Mamah Echa.
***
Alhamdulillah begitu membaca kalimat di paragraf bawah, saya ikut lega dan seneng, Mamah Echa dikaruniai seorang suami yang siaga, selalu ada ketika Mamah Echa membutuhkan dukungan, lahir dan batin. So sweet sekali Pak Suami :)
Semoga samawa selalu ya dan till jannah untuk Echa bersama Pak Suami. :)
peluuukkk teh Echa ... subhanallah ... ternyata Allah berikan suami yang begitu baik ya teh. semoga selalu sehat dan bahagia sekeluarga aamiin
BalasHapusMamah Echa don't be too hard on yourself. Masa anak balita dan bayi memang lagi rempong2nya. Alhamdulillah ada suami yang jadi support system. You'll get through this phase!
BalasHapusSemangatt mamah Echa! You are doing great already ā¤ļø serupa bgt lah teh curhatannya, you are not alone hehehee š¤
BalasHapusSuka nih Echa mengangkat tema mencintai diri sendiri. Ternyata memang nggak selalu mudah untuk bisa benar-benar jatuh cinta sama diri sendiri. Narsis sama diri sendiri itu bisa jadi diperlukan dalam porsi yang tepat ya untuk kesehatan mental kita. Nice sharing Cha.
BalasHapusKatanya emak-emak suka habis cintanya karena memang melulu disalurkan ke orang-orang di sekitarnya. Puji Tuhan ya teh untuk support suami ketika teteh sedang di low point.
BalasHapusKita mamah-mamah juga memang perlu ambil waktu untuk 'bernafas' biar energi cinta kita bisa nambah lagi. Tapi yang paling penting, bahkan ketika seluruh dunia memalingkan mukanya dan berjalan menjauh dari kita, ada Tuhan yang tanpa syarat mencintai kita. Kita tinggal duduk berhenti dan mendengar lantunan cinta-Nya yang sebenarnya selalu ada dan tidak pernah berhenti.
Semangat terus teh menerima cinta dan meneruskannya *heart*