Ketakutan Menghadapi Kehamilan Keempat
Sangaaaattt banyak ketakutan yang membuat saya lupa bahwa yang Allah berikan itu rejeki yang seharusnya saya syukuri. Takut karena usia saya yang tak lagi prima, takut karena pengalaman hamil-melahirkan sebelum-sebelumnya, takut terhadap kondisi ekonomi, takut menghadapi sibling rivalry, takut emosi saya makin mudah meledak, takut tangan yang hanya dua ini tidak mampu mengurus suami serta anak-anak dan rumah, dan masih banyak ketakutan lain yang membayangi.
Termasuk takut kakak-kakaknya bayi tidak bisa menerima kehadiran bayi ini dengan baik. Karena sebelumnya anak sulung saya sempat berkata "bun, aku udah nggak usah nambah adik lagi ya, aku nggak mau." Lalu anak kedua saya kalau ditanya apa mau punya adik, jawabannya selalu konsisten "nggak ah, nanti adiknya jambak aku juga." Yah kebetulan memang anak ketiga saya cukup "galak" dan sering menjambak kakaknya. Karena dua kakaknya menolak bahkan sebelum ada tanda kehamilan, maka ketika saya tiba-tiba hamil, kalimat penolakan mereka selalu mengganggu pikiran saya.
Belum lagi beberapa bulan terakhir saya mulai berharap bisa menjadi sedikit lebih "produktif" dan bisa ikut membantu perekonomian keluarga. Sebenarnya belum yakin sih saya mau ngapain, tapi dengan anak-anak yang semakin besar dan mandiri, saya merasa mungkin tidak lama lagi saya akan punya lebih banyak waktu yang bisa dipakai untuk "usaha yang menghasilkan" (apapun itu), tidak melulu hanya menemani batita bermain di sela-sela mengurus dapur dan rumah. Saya mulai membayangkan hari-hari "produktif" saya, tapi lalu saya dihantam kenyataan bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan ada lagi bayi mungil tak berdaya yang akan selalu membutuhkan saya. Waktu saya akan kembali diisi dengan memandikan-menyusui-menidurkan-menyusui-menyuapi-menyusui-menidurkan-dan seterusnya sepanjang hari sepanjang malam.
Rasanya dengan ritme mengurus bayi (dan tiga kakaknya) serta suami dan rumah, akan sulit sekali menemukan waktu yang bisa digunakan untuk produktif. Padahal perasaan tidak berdaya ini sudah sangat sering menghantui saya, dan menjadi pengganggu dalam hati dan otak saya, bahkan jauh sebelum saya tahu hamil anak keempat. Sering saya terganggu dengan perasaan terisolasi karena dalam setiap detik yang saya punya selalu hanya dipenuhi suara tangisan anak-anak, tidak ada teman yang bisa diajak mengobrol ngalor ngidul sambil cekikikan. Sering saya terganggu dengan perasaan tidak berdaya, karena tidak lagi mampu menghasilkan uang dan hanya bisa menengadahkan tangan ke suami. Sering saya terganggu dengan perasaan minder, karena tidak mampu menjadi wanita produktif yang memiliki suatu karya untuk dibanggakan. Sering saya merasa seperti robot, tidak lagi mampu mengenali siapa diri saya, karena sudah sejak lama apa yang saya inginkan tidak pernah lagi menjadi prioritas, selalu dikesampingkan demi anak-anak.
Nasihat Mamah: Sabar, Syukur!
Sampai akhirnya saya merasa perlu untuk minta nasihat penguat dari mama saya (yang sudah pengalaman menjadi ibu rumah tangga dengan 5 anak). Saya merasa perasaan takut dan tidak menerima ini sungguh tidak sehat bagi mental saya maupun janin di perut saya, sehingga saya harus mencari penguat untuk bisa menerima rejeki anak keempat ini dengan hati lapang. Maka sayapun memberi kabar kehamilan pada mama sambil bercucur air mata, karena perasaan yang masih kacau penuh ketakutan.
Kalimat penguat yang paling saya ingat dari mama adalah, “ingat capeknya hanya sebentar, cha. Nggak akan terasa nanti anak-anak besar dan punya kehidupan masing-masing dan nggak pengen dicampuri ibunya. Sekarang sabar dulu aja.” Saya sebenarnya sering mendengar kalimat semacam ini, tapi entah kenapa saat mama yang mengucapkan dengan kondisi hati saya kacau, kalimat ini menempel di ingatan saya. Mama bahkan bilang berdasarkan pengalamannya, setelah anak-anak besar nanti mungkin saya akan merasa bahwa anak empat itu masih kurang. Hmmm, jujur saya nggak kebayang sih akan punya pikiran seperti itu nanti. Hehe…
Mama juga bolak-balik mengingatkan untuk mensyukuri kehamilan ini, karena kehamilan ini adalah tetap rejeki dari Allah. Memang saya tidak pernah memintanya, tapi ini tetap rejeki dan wajib disyukuri. Meski berat awalnya, tapi karena Allah sudah memberi ya tetap wajib diterima dan disyukuri. Mama juga bilang untuk selalu ingat Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita. Belum tentu apa yang kita rencanakan itu baik menurut Allah. Jadi yakin saja bahwa yang Allah beri itu insyaAllah akan jadi yang terbaik.
Selain itu mama juga mengingatkan untuk selalu meminta bantuan kepada Allah, yang sesungguhnya adalah pemilik anak-anak yang keluar dari rahim saya ini. Mama mengingatkan untuk meminta kekuatan pada Allah ketika merasa sulit dan berat menjalani peran menjadi ibu. Selalu yakin bahwa Allah akan mendengar doa kita yang menginginkan anak-anak tumbuh dengan baik, dan yakin bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penjaga ketika kita tidak bisa sepenuhnya mengawasi dan menjaga anak-anak.
Penerimaan Setelah "Bertemu"
Setelah mengeluarkan emosi lewat tangisan dan dibalas nasihat serta penghiburan panjang dari mama, hati saya mulai terasa lapang. Saya mulai bisa menepiskan beragam perasaan takut yang sebelumnya selalu mengganggu pikiran dan membuat hati terasa berat. Meski tidak bisa menghilangkan ketakutan itu sepenuhnya, setidaknya hati yang tenang membuat saya mulai bisa berpikir lebih baik dan mengalihkan pikiran takut itu. Jika sebelumnya saya akan diam penuh ketakutan saat ada yang membahas kehamilan, setelah curhat ke mama perasaan saya lebih plong dan bisa tersenyum bahkan ikut tertawa.
Karena lamanya saya "stres" dan lalu terpotong libur lebaran, saya akhirnya baru memeriksakan diri ke dokter kandungan saat usia kandungan sudah memasuki 11 minggu lebih. Padahal biasanya di kehamilan sebelum-sebelumnya saya selalu memeriksakan kandungan pertama kali di usia antara 6-8 minggu. Dan ternyata, saya baru benar-benar bisa menerima kehamilan saya dengan hati yang sepenuhnya bahagia adalah setelah saya "bertemu" dengan janin di dalam perut melalui USG.
Saya cukup kaget karena ternyata di usia kandungan 11 minggu janin sudah nyaris sempurna berbentuk manusia. Karena pada USG pertama kali di setiap kehamilan sebelumnya, kadang pada janin belum terbentuk tangan dan kaki. Jadi ketika saat USG dokter menunjukkan setiap bagian tubuh janin yang terlihat bergerak-gerak, saya baru dihantam kesadaran bahwa selama ini ketakutan saya yang membuat saya sulit menerima kehamilan ini sungguh salah. Janin tidak berdaya dan tidak berdosa ini tetap tumbuh dengan baik meski hati saya tidak sepenuhnya menerima. Saya langsung merasa bersalah…
Terlebih lagi ketika dokter memperdengarkan detak jantung janin, saya kembali dihantam kesadaran bahwa ada kehidupan lain di dalam perut saya yang harus saya hujani dengan kasih sayang yang sama seperti kakak-kakaknya dulu. Saya langsung bertekad menghapus semua kesedihan yang tadinya saya rasakan, dan menggantinya dengan perasaan bahagia menyambut kehadiran bayi keempat dalam rumah tangga saya. Rasa sayang seketika membludak muncul dalam hati saya kepada janin dalam perut saya.
—
Maafkan bunda yang sempat kesulitan menerima kehadiranmu ya, anak keempatku. Maafkan bunda yang justru mengeluarkan air mata ketakutan dan bukannya bahagia saat kamu hadir. Maafkan bunda yang butuh waktu untuk bisa menghujanimu kasih sayang. Bunda janji, tidak akan ada perbedaan kasih sayang antara kamu dan kakak-kakak kamu. Bunda akan memberi masing-masing 100% cinta yang bunda miliki. I love you, nak ❤
Komentar
Posting Komentar