Ketika muncul tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang adalah "Hal Berkesan di Masa Kecil", ingatan saya melayang ke masa SD, yang menurut saya cukup unik karena bisa dibilang saya bersekolah di sekolah yang "tidak biasa". Kenapa? Karena saya, yang adalah seorang muslim dengan keluarga yang juga seluruhnya muslim, malah bersekolah di sekolah Katolik. Kok bisa?
Dulu pilihan sekolah tidak seperti sekarang di mana berjamuran sekolah swasta Islam berkualitas. Dulu pilihannya hanya SD negeri, atau swasta yang biasanya sekolah Kristen atau Katolik. Yang mama kejar dari sekolah pilihan mama adalah soal kedisiplinan. Menurut mama sekolah negeri tidak terlalu memperhatikan soal pendidikan disiplin, sementara mama tahu sekolah Katolik pilihannya menjunjung tinggi kedisiplinan, karena mama juga dulu bersekolah di sana.
Ternyata pilihan mama tepat, karena anak-anaknya jadi terbiasa untuk disiplin termasuk dalam belajar. Buktinya kami semua cukup shock ketika masuk ke SMP negeri, kami menemukan murid lain mengerjakan PR di kelas pagi-pagi dengan saling mencontek, ribut saat guru sedang mengajar, sampai ada yang bersikap tidak sopan pada guru. Itu semua jelas hal terlarang di SD dulu. Jadi pilihan mama menyekolahkan di sekolah Katolik tentu bukan tanpa alasan ya. Oh iya, sekolah saya dulu adalah SD Santa Maria Santo Yusup di Bandung, yang saat ini berganti nama menjadi SD Santa Ursula.
Pengalaman Menarik Terkait Ibadah Katolik
Di kelas saya dulu, dari sekitar 40 siswa hanya saya satu-satunya yang beragama Islam. Dan karena itu adalah sekolah Katolik, pelajaran agama yang diberikan ya pelajaran agama Katolik. Jika saya ingin mendapat nilai untuk pelajaran agama, ya saya harus ikut belajar agama Katolik dan bahkan mengikuti praktik rangkaian ibadahnya jika harus. Jadi saya cukup mengerti beberapa praktik ibadah umat Katolik, walau sekarang sih sudah lupa karena sudah lebih dari 20 tahun sejak saya lulus. Saya mau ceritakan beberapa pengalaman yang saya ingat ketika belajar tentang agama Katolik ya.
Pengalaman Pertama Masuk Kapel dan Gereja
Sebagai muslim yang sedari bayi sudah sering diajak ke masjid, yang ada di bayangan saya tentang tempat ibadah ya seperti masjid. Luas dengan hamparan karpet dan tidak ada furnitur apapun di dalamnya. Maka ketika saya pertama kali masuk kapel dan gereja, saya cukup bingung karena terdapat bangku-bangku panjang di tengah ruangan. Setelah saya ikut menjalani praktik ibadahnya, barulah saya sadar "oh, kalau umat Katolik ibadahnya duduk ya, nggak seperti muslim."
Perburuan Telur Paskah
Salah satu acara sekolah yang masih saya ingat sampai sekarang adalah perburuan telur paskah. Ketika mendekati hari paskah, siswa diajak berkreasi menghias telur rebus. Telur rebus yang sudah dihias lalu disembunyikan oleh para guru dan suster gereja di berbagai penjuru taman di area komplek biara. Lalu pada hari perayaan paskah di sekolah, kami berlomba mengumpulkan sebanyak mungkin telur di area biara. Bagi anak SD, kegiatan tersebut sangat seru dan menyenangkan, itulah kenapa saya masih mengingat keseruannya sampai sekarang.
Doa dan Lagu Rohani
Karena wajib mengikuti pelajaran agama Katolik, saya pun harus ikut menghapalkan berbagai doa dan lagu rohani. Bahkan kalau ada acara perayaan hari besar Katolik di sekolah, beberapa kali saya ikut tampil di panggung sambil menari dan menyanyikan lagu rohani bersama teman-teman. Anehnya, sampai sekarang ada satu doa dan lagu yang masih menempel di ingatan saya, mungkin karena dulu selama 6 tahun saya membaca doa tersebut setiap hari di sekolah.
Retret Sekolah
Pertama kalinya saya bermalam di luar rumah tanpa keluarga ya ketika mengikuti kegiatan retret sekolah. Retret ini bisa dibilang merupakan kegiatan penyegaran di luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan. Kalau dalam kegiatan sekolah Islam saat ini, kurang lebih mirip dengan kegiatan mabit (malam bina iman dan taqwa). Seingat saya waktu itu kami menginap di villa daerah Lembang. Kegiatan bersama teman-teman ini cukup membekas di ingatan saya, tapi saya hanya ingat saat main-mainnya sih, saya nggak ingat kegiatan rohaninya seperti apa. Heheā¦
Dipuji Guru Agama
Satu pujian paling membekas dalam ingatan saya adalah ketika guru pelajaran agama memberitahu bahwa saya dapat nilai terbaik dalam ulangan sebelumnya. Saya ingat guru tersebut memuji saya sambil sedikit "menyindir" teman-teman yang lain karena kok yang bisa mendapat nilai tertinggi malah murid non Katolik. Saya jujur agak sedikit tidak enak hati saat itu kepada teman-teman, padahal kan saya mendapat nilai bagus ya simply karena saya belajar saja, tanpa ada maksud lain.
Menjadi Minoritas, Belajar Tentang Perbedaan
Satu hal yang menjadi pelajaran penting bagi saya yang disekolahkan di sekolah Katolik adalah pelajaran tentang perbedaan dan bagaimana menyikapinya. Bagi saya perbedaan itu lebih terasa nyata karena saya yang menjadi minoritas di lingkungan sekolah, bahkan hanya sendirian. Tapi hebatnya saya sama sekali tidak pernah merasa terintimidasi, apalagi sampai mengalami bullying.
Saya ingat ketika harus melaksanakan ibadah puasa seorang diri, teman-teman sangat menghormati saya. Ketika waktunya istirahat, tidak ada yang mau memakan bekalnya di depan saya. Mereka semua makan di luar kelas, padahal biasanya mereka makan di dalam kelas. Bahkan ketika saya mau ke luar kelas untuk ke toilet, mereka buru-buru menutup kotak bekalnya dan membelakangi saya agar saya tidak sampai melihat mereka makan. Padahal saya sendiri sebenarnya tidak masalah melihat orang lain makan di depan saya. Tapi melihat perlakuan seperti itu membuat saya merasa dihargai.
Dari situ saya belajar tentang pentingnya toleransi terhadap perbedaan. Betapa menghormati perbedaan orang lain itu sangat penting supaya tidak ada yang sampai merasa terganggu dan tersakiti. Baik saya sebagai minoritas harus menghargai perbedaan cara ibadah, juga sebaliknya. Dan ketika kelompok minoritas merasa dihargai dengan sikap yang ditunjukkan oleh kelompok mayoritas seperti yang saya alami, itu tentu akan berdampak baik pada kerukunan. Damai sekali kan kalau kita bisa hidup rukun meski berada dalam lingkungan yang penuh perbedaan.
Jadi itulah yang selalu berusaha saya lakukan dan tentu saya ajarkan kepada anak-anak saya. Tentang pentingnya toleransi terhadap perbedaan. Tentang pentingnya menghargai setiap pilihan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentang selalu berbuat baik kepada siapapun termasuk kelompok minoritas. Tujuannya ya jelas supaya kita semua bisa hidup rukun dan damai meski perbedaan akan selalu ada.
Semoga tulisan ini juga bisa menginspirasi ya, supaya dunia kita semakin damai.
Jangankan Teh Echa yang mengalaminya sendiri, buat saya aja perburuan telur paskah itu memang menarik dan pastinya seru ya, bahkan hanya sekedar mencari telur paskah yang tersembunyi di salah satu halaman majalah sekalipun. Ketika saya kecil dulu...š
BalasHapusMamah Echa. Saya tak bisa berkata-kata, hanya mau bilang kalau suka banget dengan tulisan Teteh. Keren banget, Teh Echa. :) ....
BalasHapusPernah merasakan jadi minoritas memang membentuk diri lebih toleran ya teh!? š„°
BalasHapusMenghadapi perbedaan padahal ya biasa aja ya teh. Bener2 saling menghargai aja.. gak saling mengusik..
BalasHapusMakasih teh sudah ikut tantangan bulan ini š„°
Pengalaman yang berharga ya teh Echa.
BalasHapusPengalaman yang jarang-jarang nih dimiliki anak-anak SD di masa sekarang ya Echa. Pengalaman merasakan keberagaman seperti ini. Sweet banget sih tahu anak-anak SD Santa Ursula itu bisa menghargai orang yang lagi berpuasa. Padahal kan mereka masih anak-anak dan melakukannya di lingkungan mereka.
BalasHapus