Langsung ke konten utama

Ketika Saya (yang Nggak Punya "Kampung") Harus Mudik

Saya lahir dan besar di Kota Bandung. Mama saya juga lahir dan besar di Bandung, sementara papa saya lahir dan besar di Jakarta. Kakek dan nenek dari pihak mama tinggal di Bandung, sementara kakek dan nenek dari pihak papa tinggal di Jakarta. Praktis, seluruh keluarga saya tinggal di kota besar. Jadi wajar saja kan kalau sejak kecil saya tidak pernah merasakan mudik seperti kebanyakan orang saat lebaran. Setiap lebaran, ketika orang berbondong-bondong keluar dari Jakarta untuk menuju kampung halamannya, saya justru melawan arus dan malah masuk ke Jakarta.


Lebaran di Jakarta

Sejak kecil saya tidak pernah merasakan sensasi mudik pada umumnya, seperti bermacet-macetan di jalan atau sulit mencari tempat makan saking penuhnya tempat istirahat. Perjalanan "mudik" saya ke Jakarta justru biasanya sangat lancar karena justru sebagian besar orang berada di arus sebaliknya. Nyaris tidak ada kemacetan dalam perjalanan menuju rumah nenek di Jakarta.

Begitu pun selama berada di Jakarta. Jakarta yang biasanya selalu macet di setiap ruas jalan dari pagi buta sampai malam, saat lebaran justru nyaris tidak ada kemacetan. Jalanan lowong, jumlah kendaraan di jalan juga hanya sedikit. Jadi jika saya dan keluarga ke Jakarta di masa lebaran, pergi main ke tempat yang jauh dari tempat menginap pun tidak masalah karena tidak akan terkena macet.

 

Tiba-Tiba Punya Kampung

Setelah 25 tahun merasakan lebaran melawan arus mudik, akhirnya saya harus juga merasakan mudik. Saya tiba-tiba punya kampung karena menikah dengan suami yang setiap lebaran mudik ke Magetan, Jawa Timur. Tentu saya harus ikut dong berlebaran di kampung suami. Apalagi bisa dibilang suami hanya bisa bertemu orang tuanya setahun sekali, ya saat lebaran itu. Karena ibu dan bapak mertua tinggal dan punya usaha di Sangatta, Kalimantan Timur, jadi memang butuh waktu dan biaya besar untuk suami bila ingin sering-sering bertemu orang tuanya. Makanya momen lebaran menjadi  momen penting saat seluruh keluarga suami bisa pulang dan berkumpul di kampung.

Jujur, awalnya saya deg-degan sekali kalau memikirkan harus ikut mudik ke kampung suami. Kebetulan saya tidak begitu suka ada di perjalanan. Sepertinya karena saya mudah mabuk darat, jadi saya tidak nyaman berlama-lama di dalam kendaraan, khususnya mobil. Dan saat tahu kalau kampung suami itu di Jawa Timur, saya makin deg-degan karena berarti semakin jauh mudik yang harus saya jalani. Untungnya, ternyata Magetan itu adalah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Jadi nggak timur-timur amat deh. Hehe…

Di lebaran pertama setelah menikah, saya belum merasakan mudik karena saat itu saya tengah hamil muda. Orang tua suami menyarankan untuk saya tidak perlu mudik demi menjaga kandungan. Apalagi di awal-awal kehamilan, tepatnya di pertengahan Ramadan, muncul flek yang menandakan kondisi kehamilan yang kurang baik sehingga dokter pun menyarankan untuk tidak bepergian jauh.

Saya baru mudik di tahun berikutnya ketika anak pertama usia 5 bulan, dengan menggunakan kereta api sampai ke Solo karena di Solo juga ada kakek dan nenek suami. Sebelum perjalanan saya cukup banyak kekhawatiran, terutama terkait bayi yang saya bawa. Apa bayi akan nyaman sepanjang perjalanan? Kalau rewel kan bisa-bisa mengganggu penumpang lain. Untungnya, sepanjang 8 jam perjalanan anak saya cukup anteng. Dia hanya rewel di satu jam terakhir perjalanan. Suami pun sangat membantu untuk bergantian menenangkan bayi yang menangis. 

Alhamdulillah perjalanan mudik pertama berjalan mulus dan menyenangkan untuk saya, sehingga tidak banyak kekhawatiran bagi saya menghadapi mudik-mudik selanjutnya. Kereta hampir selalu menjadi pilihan karena bebas macet. Suami pun beberapa kali memilih kereta malam supaya anak-anak lebih anteng di perjalanan. Tujuan suami sih sepertinya lebih untuk membuat saya tenang, karena kalau anak-anak rewel saya bisa lebih uring-uringan. Hehe…

Namun selain kereta kami juga pernah satu kali menggunakan pesawat saat masih ada rute penerbangan Jakarta-Solo, karena kebetulan saat itu kami berlebaran di Jakarta dulu baru pergi ke Solo. Tapi hanya sekali itu saja, karena selain rute itu sekarang tidak ada lagi, budget untuk mudiknya pun kurang kalau menggunakan pesawat. Apalagi dengan jumlah anggota keluarga yang terus bertambah. Hehe…


Bersyukur karena sekarang jadi punya kampung, karena setiap mudik jadi bisa melihat pemandangan seasri ini, yang tidak bisa saya temukan di Kota Bandung.


Ganti Moda Transportasi

Karena alasan anggota keluarga yang terus bertambah itu, menggunakan kereta untuk mudik terasa semakin berat. Selain karena jumlah tiket yang dibeli harus lebih banyak sehingga lebih mahal, juga kerepotannya pun jelas bertambah. Koper yang dibawa tentu harus lebih besar atau lebih banyak karena barang bawaannya semakin banyak. Jadi ketika turun kereta suami sudah cukup repot dengan banyak barang, sementara saya yang harus menggendong dan menuntun anak-anak.

Jadi ketika anak sudah tiga, suami memutuskan untuk mudik menggunakan mobil, tepatnya mudik tahun 2022. Wah, jujur saat itu saya super super khawatir. Banyak sekali pikiran “what if” yang muncul di kepala saya. Bagaimana kalau macet sampai berhenti, bagaimana kalau anak muntah, bagaimana kalau saya juga mabuk, bagaimana kalau mobil bermasalah, dan masih banyak bagaimana-bagaimana yang lainnya. Jujur sepanjang bulan Ramadan saya selalu memanjatkan doa untuk kelancaran perjalanan mudik, saking khawatirnya saya akan menjalani perjalanan Bandung-Solo pertama kalinya menggunakan mobil pribadi. Karena itu pengalaman pertama kami mudik dengan mobil membawa tiga anak, kami meminta bantuan saudara juga untuk menyetir, sehingga suami bisa membantu jika saya kerepotan dengan anak-anak.

Alhamdulillah, ternyata semua “what if” yang ada di kepala saya tidak ada yang menjadi nyata. Perjalanan sangat lancar tanpa ada macet sedikitpun, anak-anak pun anteng tidur sepanjang perjalanan. Kebetulan saat itu suami memilih untuk jalan malam, jadi anak-anak memang terus tidur sepanjang perjalanan. Saat itu juga tol sampai Solo sudah beroperasi dan sudah dimulai pengaturan jalan dengan contra flow bahkan one way alias buka tutup jalan tol, sehingga kami sama sekali tidak menemukan titik macet.

Sungguh, perasaan saya luar biasa lega begitu sampai di Solo saat itu, seperti ada beban sangat besar yang terlepas dari kepala. Iya, saya memang sebegitu khawatirnya menghadapi perjalanan mudik dengan mobil. Alasannya karena saya sendiri mudah mual dan mabuk darat dalam perjalanan jauh dengan mobil, sehingga untuk mengurus diri sendiri saja di jalan saya bisa kerepotan kalau sedang mual, nah ini saya harus bisa juga mengurus tiga anak saya. Apalagi satu di antaranya sama seperti saya, sangat mudah mual dan mabuk darat.


Mudik 2024, Tantangan Bertambah

Di tahun 2024 ini, tantangan ternyata bertambah lagi dengan hadirnya anggota keluarga baru. Mudik dengan 4 anak tentu berarti level kerepotannya bertambah. Kembali diputuskan untuk mudik dengan mobil pribadi, hanya saja kali ini suami yang menyetir pulang pergi. Dan kedua perjalanan pun dilakukan pagi hari supaya bisa mampir dan main ke kota-kota lain.

Ada sedikit kekhawatiran bagi saya khususnya karena membawa bayi usia 5 bulan. Tapi tingkat kecemasannya jauh berkurang dibandingkan sebelumnya saat pertama kali akan mudik menggunakan mobil. Pengalaman sebelumnya yang bisa dibilang lancar membuat saya tidak terlalu cemas.

Alhamdulillah ternyata perjalanan mudik ini juga terhitung lancar, meski ada macet justru di dalam Kota Bandung sebelum masuk tol. Tapi suami saat itu bilang, “Justru ini, Bun, sensasinya mudik. Kena macet bikin mudik itu lebih berasa.” Ya saya tidak sepenuhnya setuju sih. Kalau bisa lancar kenapa harus macet-macetan kan? Hehe…

Membawa bayi pun ternyata tidak serepot yang saya bayangkan sebelumnya. Bayi cukup kooperatif dan tidak terlalu rewel. Kakak-kakaknya pun tidak banyak mengeluh dan bisa diajak kerja sama untuk membuat perjalanan nyaman bagi semua. Karena yang paling penting buat saya adalah bagaimana menjaga mood seluruh anggota keluarga tetap baik sepanjang perjalanan.

Perjalanan pulang setelah seminggu di kampung pun berjalan lancar. Bahkan kami sempat mampir ke beberapa kota lain untuk membeli oleh-oleh juga sedikit berwisata. Anak-anak senang, saya dan suami pun tentu senang melihat senyuman anak-anak yang bahagia karena bisa bermain di pantai sekitar Batang, Jawa Tengah. Jalan tol menuju Bandung masih sedikit padat tapi tidak sampai macet, sehingga kami bisa tiba di rumah tidak terlalu malam.


Naik Level Selanjutnya?

Saya bersyukur sekali sekarang sudah ada tol trans Jawa yang menghubungkan Bandung-Solo. Perjalanan jadi jauh lebih mudah, khususnya bagi saya. Karena kalau harus lewat jalur pantura atau pansela mungkin saya akan sangat mudah mabuk darat. Jalannya pun mungkin akan lebih padat dan lebih banyak titik macet yang mungkin ditemui.

Meski katanya pemandangan di jalur selatan sangat indah, tapi saya sih tidak mementingkan hal itu ya. Yang akan saya pilih tentu rute yang paling cepat bisa membawa saya ke tujuan, bukan yang paling indah pemandangannya. Hehe…

Untuk mudik-mudik selanjutnya, suami sudah pernah bilang ingin mencoba mudik naik bus umum. Tapi saya masih menolak mentah-mentah ide tersebut, karena terbayang repotnya naik bus umum dengan 4 anak. Kalau pakai mobil pribadi, ketika anak-anak mulai terlihat tidak kondusif kami bisa melipir ke rest area terdekat untuk beristirahat dan memperbaiki mood mereka. Tapi kalau naik bus kan tidak bisa berhenti semaunya.

Belum lagi jumlah barang yang dibawa harus dipikirkan matang-matang supaya tidak repot saat naik maupun turun bus. Berbeda dengan mudik naik mobil, kami bisa membawa lebih banyak barang. Misalnya saja jika ingin membawa oleh-oleh, bisa kami bawa dalam bentuk banyak plastik kresek saja lalu dimasukkan ke bagasi mobil. Kalau naik bus, kami tentu tidak bisa membawa terlalu banyak plastik karena akan repot membawanya turun dari bus, apalagi anak-anak masih kecil dan harus ada yang digendong atau minimal digandeng.

Jadi, mudik naik bus umum sih nanti dulu deh. Kalau anak-anak sudah cukup besar semua, bisa mengurus dirinya sendiri dan bisa membawa barang masing-masing, mungkin bisa saya pikirkan lagi. Yang jelas tidak dalam waktu dekat ya. Hehe…

Komentar

Popular Posts

Garuda di Dada Timnas -> Salah??

Ada yang mempermasalahkan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas Indonesia. Padahal, timnas Indonesia sendiri lagi berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang Piala AFF 2010.  Ini 100% pendapat pribadi aja yah.. Apa sih yang salah dengan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas? Bukannya dengan adanya lambang Garuda di dada itu berarti mereka yang ada di timnas bangga jadi Indonesia dan bangga bisa berlaga di ajang internasional dengan membawa nama Indonesia? Bukannya dengan membawa lambang Garuda di dada itu berarti mereka akan makin semangat untuk main di lapangan hijau karna membawa nama besar Indonesia? Dan itu berarti Bang BePe dan kawan2 itu akan berusaha lebih keras untuk membuat semua warga Indonesia bangga? Pernah liat timnas maen di lapangan hijau? Pernah liat mereka rangkulan sambil nyanyiin lagi wajib INDONESIA RAYA? Pernah merhatiin ga kalo mereka sering mencium lambang Garuda yang ada di dada mereka setiap abis nyanyiin lagu INDONESIA RAYA? Pernah juga ga merha

Makanan Favorit di Setiap Masa "Ngidam"

Setelah bulan lalu saya gagal setoran karena kesulitan mencari waktu untuk menulis di sela-sela perubahan ritme kehidupan selama ramadan, bulan ini saya tidak mau lagi gagal setoran tulisan. Kebetulan tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang makanan favorit.  Sebenarnya kalau ditanya apa makanan favorit saya, jujur bingung sih jawabnya. Karena saya bisa dibilang pemakan segala. Buat saya makanan hanya ada yang enak atau enak banget. Hehe… Jadi kalau disuruh memilih 1 makanan yang paling favorit sepanjang masa, ya susah. Makanya ketika beberapa minggu belakangan ini saya sering terbayang-bayang satu jenis makanan, saya jadi terinspirasi untuk menjadikan ini sebagai tulisan untuk setoran tantangan bulan ini. Iya, saya memang sedang sering ngidam. Ngidam kurang lebih bisa diartikan keinginan dari seorang ibu hamil terhadap sesuatu, umumnya keinginan terhadap makanan. Ngidamnya setiap ibu hamil juga beda-beda, ada yang ngidamnya jarang tapi ada juga yang sering

Mama sang Wonder Woman

Mama adalah segalanya.. Mama adalah Wonder Woman terhebat yang pernah ada di dunia ini.. :) Di keluargaku, dan sepertinya juga hampir sebagian besar keluarga, mama merupakan sosok yang sangat memegang peranan penting dalam urusan rumah. Segala urusan rumah dari mulai cuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, masak, dan sebagainya itu semuanya mama yang urus.. Anggota keluarga yang lain seperti suami dan anak-anaknya mungkin juga ikut membantu, kadang bantu mencuci, bersih-bersih, ato urusan rumah lainnya. Tapi tetap saja kalau dihitung-hitung, pasti porsinya jauh sama yang biasa dikerjakan mama. Belakangan ini aku lebih sering ada di rumah. Dan dengan semakin seringnya ada di rumah, semakin aku mengerti sibuknya mama di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri. Sebagai seorang anak, pastinya sudah jadi kewajiban aku untuk bantu mama dalam mengurus rumah yang juga aku tinggali. Dengan aku sering ikut membantu mama melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, aku jadi tahu bah