Kalau ada perjumpaan, pasti akan ada juga perpisahan. Siapapun atau apapun yang pernah bersama kita pada akhirnya pasti akan berpisah juga. Entah kita yang meninggalkan atau justru ditinggalkan. Dan biasanya perpisahan itu identik sama yang namanya sedih.
Ternyata nggak hanya perpisahan dengan orang yang bisa bikin kita sedih, tapi kadang berpisah dengan barang pun bisa bikin kita sedih. Entah karena ada memori indah sama barang tersebut, atau sekedar karena barang tersebut sudah terlalu lama bersama kita, sampai terasa ada yang ikut "hilang" saat barang itu nggak lagi bersama kita.
Kesedihan itu yang lagi aku rasakan, sedih karena berpisah sama salah satu benda milik aku yang cukup berharga. Ayla, mobilku satu-satunya yang sudah bersama dengan aku selama 10 tahun. Sudah sejak 2014 mobil itu jadi milik aku dan suami. Kami beli mobil itu beberapa bulan setelah kami menikah. Kami bayar DP dengan uang tabungan hasil kerja aku dan suami sejak lulus kuliah. Lalu kami cicil dengan uang hasil keringat kami juga selama 3 tahun sampai akhirnya cicilan lunas dan mobil itu jadi milik kami sepenuhnya.
Karena beberapa alasan, Ayla terpaksa kami lepaskan untuk dipakai dan dimanfaatkan orang lain. Bukan murni karena keinginan kami,tapi keadaan yang memaksa kami melepas Ayla. Itulah yang membuat aku semakin sedih, karena hari kecilku sebenarnya tidak menginginkan mobil itu pergi dari garasi rumah kami.
Selama 10 tahun kami pakai mobil itu untuk bepergian di dalam kota. Mobil itu jadi saksi perjalanan rumah tangga aku dan suami yang tadinya berdua, lalu bertambah anggota menjadi 3, lalu 4, 5, dan akhirnya 6. Ayla selalu menjadi mobil pertama yang dinaiki keempat anakku ketika mereka pulang dari klinik ketika dilahirkan.
Mobil itu setia mengantar kami ke manapun kami mau pergi. Ayla yang selalu bersama kami pergi mengukir memori keluarga untuk berjalan-jalan, atau mencari pahala dengan mengantar kami mengaji ke masjid, sampai mengantar jemput anak-anak menuntut ilmu di sekolah.
Ayla adalah satu-satunya mobil yang bisa aku setir. Mobil itu juga yang menjadi "korban" ketika aku baru mulai belajar menyetir. Badan mobil baret karena terlalu dekat dengan pohon di pinggir jalan, bagian bawah pintu penyok karena menyerempet tembok garasi, sampai bumper depan nyaris copot karena menabrak trotoar, Ayla alami sebagai bukti setianya menemani aku melancarkan kemampuan menyetir aku.
Ayla juga menjadi saksi ketika aku berjuang dengan kondisi mental yang naik turun. Ayla sering menjadi tempat yang aku pilih untuk menangis menyendiri ketika aku lelah dengan hari-hariku bersama anak-anak. Karena di rumah sulit menemukan tempat untuk bisa menyendiri, seringnya aku memilih mobil untuk sekedar diam atau malah menumpahkan air mata.
10 tahun rasanya bukan waktu yang sebentar kan ya. Banyak memori yang pasti diukir bersama dalam rentang waktu itu. Makanya di hari terakhir aku menyetir Ayla saat menjemput anak-anak sekolah, perasaanku sungguh mellow. Ada sedikit perasaan tidak rela harus dipaksa berpisah selamanya dengan Ayla. Mungkin akan ada yang bilang aku lebay, tapi rasa sedih yang aku rasakan itu nyata.
Ketika akhirnya Ayla dibawa pergi keluar dari garasi rumah, aku hanya bisa menghela napas sambil berdoa semoga perginya Ayla akan Allah ganti dengan yang lebih baik, yang lebih barokah. So long, Ay... Terima kasih untuk 10 tahun ini...
Komentar
Posting Komentar