Semua orang pasti membutuhkan waktu untuk “me time”. Me time atau waktu yang dihabiskan untuk diri sendiri diperlukan untuk memberi diri kita waktu untuk “istirahat” dari rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Setiap orang tentu punya cara yang berbeda untuk me time. Ada yang senang berkegiatan di dalam rumah, ada yang senang di luar rumah. Ada yang senang rebahan, tapi ada juga yang justru senang bergerak.
Di era digital sekarang ini, banyak orang yang memilih mengisi waktu luang dengan kegiatan yang menggunakan internet, misalnya scrolling medsos, belanja online, main game online, sampai nonton film/drama online. Bahkan kegiatan bergerak seperti misalnya olahraga kadang masih membutuhkan internet. Misalnya yang senang berlari atau gym sambil mendengar musik masih butuh internet untuk akses spotify. Atau memasak juga kadang masih butuh internet untuk mencontek resep dari youtube.
Dalam tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, para mamah diajak menceritakan tentang cara me time tanpa menggunakan internet. Ada kalanya memang kita juga perlu rehat dari internet, supaya kita tidak terlalu bergantung dengan internet. Adiksi terhadap internet tentu kurang baik juga, apalagi kalau sudah sampai level muncul anxiety jika jauh dari internet. Padahal sebenarnya sebentar saja terlepas dari internet ataupun gawai tidak akan langsung membuat hidup kita kacau, kan?
Termasuk dalam hal me time, ada baiknya sesekali me time dilakukan tanpa akses internet. Banyak kok pilihan kegiatan yang tidak perlu menggunakan internet. Justru dengan tidak adanya akses internet, me time bisa dilakukan dengan benar-benar berfokus pada diri sendiri. Jadi justru me time yang dilakukan itu seharusnya menjadi lebih bermakna.
Me Time-nya Mamah-Mamah yang Punya Balita
Jika kebanyakan orang bisa memilih waktu untuk me time, tidak demikian dengan mamah-mamah yang punya balita, seperti saya. Bagi kebanyakan mamah-mamah dengan balita, me time adalah sebuah kemewahan. Jangankan bebas memilih waktu, bisa punya sedikiiitt saja waktu untuk sendirian, pasti para mamah itu sudah sangat bersyukur.
Punya balita memang jadi tantangan tersendiri bagi para mamah, karena biasanya usia balita memang sedang nempel-nempelnya dengan ibu. Khususnya bagi ibu rumah tangga yang nyaris 24 jam di rumah bersama anak, pasti susah untuk bisa lepas dari balita karena memang hobi mereka adalah ngintilin ibu ke mana pun ibu melangkah, lalu menangis keras saat ibu hilang dari pandangan.
Itu juga yang saya rasakan selama 10 tahun belakangan. Sejak 10 tahun lalu saya tidak pernah berhenti punya balita, mulai dari anak pertama lalu berlanjut hingga anak keempat yang sekarang usianya 19 bulan. Karena itulah me time menjadi hal yang sangat mewah bagi saya saking jarangnya bisa berdiri dengan kaki sendiri tanpa ada anak yang menempel. Bahkan mengurus segala pekerjaan rumah tangga sering saya lakukan sambil menggendong karena anak saya tidak mau dicuekin.
Bukannya saya tidak ingin punya me time rutin, tapi memang seringnya ekspektasi saya tidak sesuai dengan realita. Karena masih sulit untuk bisa punya me time yang proper selama masih ada balita, saat ini seringnya saya hanya berandai-andai saja membayangkan betapa nikmatnya kalau nanti anak-anak semakin besar dan bisa saya tinggal untuk me time.
Menyetir Sambil Nyanyi
Ekspektasi:
Pegang kemudi sambil mendengarkan radio dil mobil. Setiap terdengar lagu yang enak didengar, ikut bernyanyi dengan suara keras sambil jemari mengetuk-ngetuk setir mengikuti tempo lagu. Jika lagunya up beat badan bisa ikut bergoyang mengikuti irama lagu. Atau malah sebaliknya kalau hati sedang tidak baik-baik saja, ikut terhanyut dalam lagu sendu. Ikut melepaskan perasaan lewat bahasa paling universal: musik.
Realita:
Sayangnya saat ini ke mana-mana saya masih harus membawa 2 balita kesayangan, atau malah 4 anak kalau semuanya tidak mau ditinggal. Saat menyetir dan terdengar lagu kesukaan dan sudah menarik napas panjang untuk ikut bernyanyi ikut bernyanyi, saluran radio diganti tiba-tiba. “Aku nggak suka lagu ini, cari lagu lain, ya.” Baiklah, bunda mengalah. Atau saat sedang asyik-asyiknya menyanyi, eh malah lebih keras suara debat kusir di kursi belakang antara dua anak yang meributkan mana yang lebih jago antara Christiano Ronaldo atau Lionel Messi. Langsung nggak ingin melanjutkan nyanyi kan jadinya.
Window Shopping
Ekspektasi:
Jalan santai di mal, sambil mata lirik sana sini mencari barang lucu untuk dilihat-lihat. Keluar masuk dari satu toko ke toko lainnya hanya sekedar melihat dan menyentuh aneka barang. Mencoba memakai baju, sepatu, atau tas yang ada sambil bersolek di kaca yang tersedia di toko. Tidak perlu ada yang dibawa pulang pun kadang tidak masalah, hanya sekedar memuaskan mata dan kulit dengan melihat-lihat dan menyentuh berbagai barang.
Realita:
Karena selalu bawa anak ke mal, tentunya tidak bisa window shopping dengan santai. Baru mau masuk ke sebuah toko, tangan ditarik keras sama si kecil, “bunda lihat ke sana, yuk!” Atau sedang asyik melihat-lihat barang, bolak balik ditanya “udah, Bun? Kok lama banget pilih-pilihnya?” Nasib punya banyak anak laki-laki, nggak ada yang paham nikmatnya melihat-lihat barang sambil membanding-bandingkan kualitas dan harga dari satu toko dengan toko-toko lainnya.
Makan Dengan Tenang
Ekspektasi:
Duduk tenang di restoran, sambil mendengarkan alunan lembut musik yang diputar. Ketika makanan diantar ke meja, bisa langsung makan makanan yang kondisinya masih hangat dan tertata dengan cantik di piring. Fokus dengan makanan di piring sambil sesekali memperhatikan orang-orang di sekitar. Satu suap demi satu suap dinikmati rasanya sampai akhirnya piring bersih tanpa sisa makanan.
Realita:
Di restoran malah repot berusaha membuat balita duduk dengan tenang di high chair. Ketika makanan datang harus membantu anak-anak yang kecil makan, karena kalau dibiarkan makan sendiri bukan tidak mungkin piringnya akan berakhir terbalik di lantai. Saat akhirnya bisa mulai makan, makanan sudah tidak hangat lagi. Atau malah lebih parah, saya hanya dapat sisa dari makanan anak-anak yang tidak habis. Dan di tengah suapan makanan dingin itu, tiba-tiba gadis balita bilang, “Bun, aku mau pipis ditemenin sama bunda.” Ya begitulah, sudah biasa bagi seorang ibu berhenti makan di tengah jalan untuk membantu anaknya cebok.
Santai di Book Cafe
Ekspektasi:
Datang ke book cafe lalu pilih-pilih buku untuk dipinjam dan dibaca. Mata terpuaskan melihat rak buku tinggi yang penuh dengan aneka jenis buku yang tertata rapi. Dengan tenang melihat satu per satu bagian belakang buku untuk menentukan buku yang paling menarik untuk dibaca. Setelah dapat, mencari spot kursi paling nyaman lalu mulai membaca dengan tenang ditemani segelas es coklat dan sepiring roti bakar. Wah, membayangkannya saja rasanya saya sudah senang sekali, terputus sejenak dari dunia luar dan masuk ke dalam karakter di dalam novel yang dibaca.
Realita:
Membawa balita ke book cafe tentu tidak akan berakhir dengan membaca buku dengan tenang. Berapa menit sih balita bisa duduk diam membaca buku? Yang ada mereka malah mengacak-acak buku yang sudah tersusun rapi di rak. Atau mengambil buku lalu membolak balik dengan kasar sampai akhirnya ada halaman yang tersobek. Atau lebih parah lagi, mereka tidak tertarik dengan buku malah memilih mengacak-acak makanan. Duh!
Body Care
Ekspektasi:
Inginnya jelas pergi ke salon kecantikan dan dapat full body care treatment. Tapi kalau banyak keterbatasan sebenarnya perawatan sendiri di rumah pun sudah cukup. Nyalakan lilin aromaterapi di kamar mandi agar rileks. Kaki direndam di air hangat yang sudah dicampur garam epsom. Perlahan tangan dan seluruh badan dilumuri body scrub atau lulur sambil dipijat ringan dengan gerakan memutar. Satisfying, kan, melihat kotoran dan kulit mati rontok dari kulit saat pakai body scrub. Perawatan diri di kamar mandi diakhiri dengan mandi dan keramas menggunakan air hangat, ditambah sabun dan sampo dengan aroma favorit yang menenangkan.
Realita:
Jangankan bisa pakai lulur di kamar mandi dengan tenang, bisa pipis sekejap ke toilet saja sudah syukur alhamdulillah. Karena seringnya balita langsung menjerit kencang kalau pintu kamar mandi ditutup dan saya hilang dari pandangannya. Atau kalaupun anak-anak bisa asyik bermain bersama, baru sebentar di kamar mandi sudah terdengar gedoran di pintu. “Bun, ayo gantian. Aku sudah kebelet iniii…” Ya mau bagaimana lagi, kalau kamar mandi di rumah hanya satu ya harus buru-buru keluar kalau yang lain ada yang kebelet.
Penutup
Selama saya masih ditempel balita yang tidak bisa jauh dari bundanya, memang tidak bisa berekspektasi tinggi untuk bisa me time dengan waktu yang panjang atau tenang tanpa gangguan. Harus sabar dulu menunggu anak-anak lebih besar dan mengerti bahwa bundanya butuh waktu untuk sendiri. Sekarang ini harus puas dengan me time ringan saja.
Jangan lupa bahwa kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan. Jangan menggantungkan kebahagiaan kita pada orang lain atau hal lain yang tidak bisa kita kontrol. Mengharapkan balita bisa diam saat kita ingin me time? Ya sulit, dan kalau kita berharap seperti itu ujung-ujungnya jadi kesal dan kecewa. Makanya sekarang ini ya harus menurunkan ekspektasi dulu.
Kalau mau me time yang sesuai ekspektasi tinggi kita, mending tidur saja. Siapa tahu dalam tidur itu kita bisa mimpi melakukan semua kegiatan me time yang sesuai impian kita. Nanti saat bangun sudah happy deh! Hehehe…
Komentar
Posting Komentar