Langsung ke konten utama

Antara Buku dan Film "Imperfect"

 Ketika membaca tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober ini, yaitu “Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium”, yang muncul pertama kali dalam pikiran saya adalah buku dan film “Imperfect”. Padahal banyak sekali judul film yang diadaptasi dari buku yang sudah saya tamatkan keduanya, tapi entah mengapa judul pertama yang terlintas adalah “Imperfect”. Karena satu dan lain hal yang membuat waktu saya tersita banyak di bulan ini, akhirnya saya memutuskan untuk mengulas film dan buku ini saja untuk tantangan, karena tidak sempat lagi memikirkan judul lain.


Buku Nonfiksi, Film Fiksi


“Imperfect” merupakan buku yang ditulis oleh Meira Anastasia. Judul lengkapnya sebenarnya adalah “Imperfect: a Journey to Self-Acceptance”. Buku ini merupakan buku non fiksi, berisi tentang curahan hati Meira tentang perasaan insecure yang dimilikinya akibat kondisi fisiknya yang dirasa jauh dari ideal. Juga bagaimana perjalanan yang dilalui Meira sampai akhirnya menemukan cara untuk mengatasi perasaan insecure-nya.

Sementara itu, film “Imperfect” yang diadaptasi dari buku tersebut justru dibuat menjadi film fiksi, dengan judul lengkap yang sedikit berbeda dengan judul lengkap buku, yaitu “Imperfect: Karier, Cinta, dan Timbangan”. Selain itu tokoh dalam film juga merupakan tokoh fiktif yang tidak berkaitan dengan tokoh dalam kehidupan nyata Meira yang diceritakan di bukunya.

Karena buku yang diadaptasi menjadi film adalah buku non fiksi, jadi bagian yang diadaptasi hanyalah tema besar bukunya, yaitu tentang seorang perempuan yang merasa dirinya jauh dari kata sempurna, dan bagaimana perjalanannya mengatasi ketidaksempurnaan tersebut. Ketika di buku sang penulis menceritakan pengalaman dan pemikirannya sendiri, dalam film dibuat tokoh baru yang memiliki perasaan insecure yang serupa, namun dengan latar kondisi sosial yang berbeda.


Cover buku dan poster film "Imperfect"


Tentang Perempuan dan Insecure


Garis merah dari buku dan film “Imperfect” ini adalah kisah tentang perempuan yang merasa insecure akibat kondisi fisiknya yang dirasa jauh dari definisi perempuan ideal yang berlaku di masyarakat. Perempuan cantik itu ya harus tinggi, langsing, berkulit putih, rambut lurus panjang, hingga detail bagian tubuh lain yang sering disebut untuk menggambarkan perempuan sempurna.

Dalam bukunya, Meira sang penulis menceritakan dirinya yang sering mendapat komentar yang mengarah ke body shaming. Dia memang memiliki kulit yang sedikit gelap (apalagi jika dibandingkan dengan suaminya yang keturunan Tionghoa). Dalam kesehariannya juga ia lebih memilih gaya kasual cenderung tomboy, ditambah potongan rambut pendek (bahkan cepak sebelah). Selain itu ia juga sempat kurang memerhatikan makan sehingga badannya menjadi agak gemuk. Ditambah lagi hamil dan melahirkan dua kali yang membuat bagian tengah tubuhnya (dada dan perut) cukup banyak mengalami perubahan.

Penulis yang merupakan istri dari public figure tentu mendapat perhatian lebih dari masyarakat dan netizen. Sehingga komentar yang didapatkan juga pasti lebih beragam, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Apalagi dengan adanya media sosial sekarang netizen sangat mudah untuk memberikan komentar, yang kadang tidak dipikir dulu sebelum diunggah. Sangat mungkin komentar buruk netizen bisa memengaruhi mental orang yang dikomentarinya, apalagi kondisi mental tiap orang bisa berbeda. Ada yang cuek saat mendapat komentar buruk, tapi ada juga yang sensitif ketika mendapat komentar buruk dan langsung membuatnya sedih.

Namun ternyata komentar buruk tidak hanya datang dari netizen di media sosial. Orang terdekat seperti keluarga pun ternyata bisa mengeluarkan komentar yang menyakitkan. Mungkin kadang maksudnya tidak menyakiti, tapi bagi orang tertentu yang sensitif komentar tentang fisik tetap bisa menyakitkan. Misalnya, sekedar kalimat “hei, ingat paha!” yang diucapkan ibu ketika mau menyendok nasi 3 centong ke piring saja bisa jadi menyakitkan.

Yang lebih menyakitkan, justru yang lebih banyak mengomentari fisik seorang perempuan itu adalah perempuan lagi. Padahal seharusnya perempuan lebih paham perasaan sesama perempuan, tapi nyatanya justru lebih banyak perempuan yang menyakiti perempuan lain dengan komentar-komentar pedasnya. 

Kadang tanpa perlu dikomentari pun seorang perempuan saat bercermin bisa saja merasa insecure melihat kondisi fisiknya. Melihat kulit wajah yang berjerawat, lengan yang tidak kencang, perut yang tidak rata, berat badan yang naik, dan beragam kondisi lain kadang sudah cukup membuat perempuan merasa tidak percaya diri. Ketika ditambah komentar dari orang lain baik yang dikenal maupun tidak dikenal, tentu akan semakin menguatkan perasaan insecure yang dimiliki. Dan tidak sedikit orang yang menjadi stres akibat perasaan insecure.

Kisah inilah yang diangkat oleh penulis baik di buku maupun di film, karena memang kondisi ini sering sekali terjadi pada perempuan di sekitar kita. Entah kita yang menjadi korban atau malah pelaku yang mengomentari fisik perempuan lain. Selain itu ada pesan yang ingin disampaikan penulis melalui buku dan film, yaitu bahwa manusia memang tidak akan pernah sempurna, tinggal bagaimana caranya kita menerima ketidaksempurnaan itu. Juga ada pesan bagi para perempuan yang sering merasa insecure untuk mengubah perasaan insecure itu menjadi bersyukur.


Sumber gambar: initiativeafrica.net


Perbedaan Tokoh Dalam Buku dan Film


Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, karena genre buku dan film berbeda, maka dalam penokohan juga terdapat perbedaan besar. Dalam buku, penulis hanya menceritakan tentang dirinya sendiri. Beberapa kali ada tokoh lain yang disebut, seperti misalnya suami atau anaknya, tapi tokoh lain itu disebut hanya untuk melengkapi cerita tentang sang penulis. Penulis menjelaskan bahwa dirinya adalah ibu rumah tangga dan istri dari Ernest Prakasa yang merupakan public figure yang sudah banyak dikenal dengan aneka karyanya baik buku, film, maupun pertunjukan stand up comedy. Penulis juga menceritakan dirinya adalah ibu dari dua orang anak, dan kondisi fisiknya yang jauh dari kata ideal dan membuatnya insecure salah satunya dipengaruhi oleh perjuangannya ketika hamil, melahirkan, dan merawat kedua buah hatinya. 

Sementara dalam film, tokoh utamanya adalah Rara, seorang perempuan muda yang bekerja dalam sebuah perusahaan kosmetik besar. Diceritakan fisik Rara mirip dengan ayahnya, yaitu berkulit agak gelap, rambut ikal mengembang, dan agak gemuk. Namun ayahnya yang biasa menjadi pelindungnya meninggal saat Rara masih kecil, sehingga sejak ayahnya meninggal Rara harus menerima ketika ibunya sering mengomentari fisiknya. Belum lagi Rara punya adik yang lebih cantik, putih, langsing, yang membuat Rara sering dibanding-bandingkan dengan adiknya. Meski begitu Rara punya seorang pacar yang menyayanginya apa adanya dan tidak pernah meminta Rara berubah sedikitpun.

Jika dalam buku objek yang dijadikan fokus hanya penulis dengan rasa insecure-nya, pada film diceritakan tidak hanya Rara sang tokoh utama yang punya insecure. Tokoh perempuan lain seperti teman-teman Dika, bahkan adik Rara yang sering membuat Rara iri pun ternyata menyimpan perasaan insecure, meski penyebab masing-masing tokoh merasa insecure berbeda-beda. Sepertinya penulis skenario sengaja membuat seperti itu untuk menunjukkan bahwa memang tidak ada perempuan yang sempurna.

Satu hal yang saya suka dari tokoh dalam film ini adalah betapa totalnya aktris utama dalam berperan. Jessica Mila, yang memerankan Rara dalam film ini benar-benar menaikkan berat badannya sampai 10 kg supaya terlihat besar di film ini, dan kemudian menurunkannya lagi ke berat badan semula. Dengan begitu kondisi fisiknya yang gemuk di film terlihat cukup nyata dan bukan hanya efek kamera atau permainan make up dan styling



Pesan dari Buku dan Film


Karena penulis buku dan penulis skenario film “Imperfect” ini adalah orang yang sama, jadi pasti pesan yang ingin disampaikan dalam buku dituangkan juga dalam skenario film. Meskipun hanya permasalahan pada beberapa bab awal di buku yang diangkat menjadi cerita dalam film, tapi pesan inti yang ingin disampaikan dari keseluruhan buku bisa cukup tersampaikan di dalam film.

Ada pesan untuk belajar menerima kekurangan diri dan berfokus pada kelebihan yang dimiliki. Ada pesan untuk belajar tidak terlalu memikirkan perkataan orang lain, karena kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain katakan pada kita. Ada pesan untuk tidak berusaha mengubah diri sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain, karena belum tentu kita sendiri bahagia. Ada pesan untuk bijak menggunakan media sosial agar tidak mengganggu mental kita. Tersirat juga pesan untuk tidak menjadi pelaku yang memberikan komentar menyakitkan pada orang lain. Juga pesan-pesan lain yang tersirat dalam tulisan ataupun percakapan para tokoh di film.

Di dalam film tentu cerita dibuat dengan konflik yang dikisahkan bertahap hingga mencapai puncak agar cerita menarik untuk diikuti, sedikit berbeda dengan permasalahan di buku yang diceritakan secara terpisah-pisah. Karena itu juga tidak semua permasalahan yang diceritakan di buku masuk dalam konflik di dalam film. Misalnya saja, cerita penulis saat sempat terpikir menjalani operasi plastik sebagai salah satu jalan keluar mengatasi insecure tidak masuk dalam salah satu konflik di film. Tapi hal ini tidak mengurangi esensi pesan yang ingin disampaikan dari buku.



Penutup


Jika dilihat dari segi orisinalitas, maka kedua karya ini merupakan karya orisinal. Meski memiliki judul yang sama, tapi keduanya bisa dibilang merupakan karya independen. Bukunya merupakan karya tulis non fiksi orisinal yang menceritakan pengalaman dan opini pribadi penulis, sementara skenario filmnya juga merupakan karya orisinal. Skenario film hanya terinspirasi tema besar dari buku penulis, namun pemilihan tokoh, karakter, hingga konflik dalam film dibuat dari nol karena dalam buku tidak ada penokohan dan konflik bertahap seperti yang dibutuhkan dalam film.




Komentar

Popular Posts

Garuda di Dada Timnas -> Salah??

Ada yang mempermasalahkan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas Indonesia. Padahal, timnas Indonesia sendiri lagi berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang Piala AFF 2010.  Ini 100% pendapat pribadi aja yah.. Apa sih yang salah dengan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas? Bukannya dengan adanya lambang Garuda di dada itu berarti mereka yang ada di timnas bangga jadi Indonesia dan bangga bisa berlaga di ajang internasional dengan membawa nama Indonesia? Bukannya dengan membawa lambang Garuda di dada itu berarti mereka akan makin semangat untuk main di lapangan hijau karna membawa nama besar Indonesia? Dan itu berarti Bang BePe dan kawan2 itu akan berusaha lebih keras untuk membuat semua warga Indonesia bangga? Pernah liat timnas maen di lapangan hijau? Pernah liat mereka rangkulan sambil nyanyiin lagi wajib INDONESIA RAYA? Pernah merhatiin ga kalo mereka sering mencium lambang Garuda yang ada di dada mereka setiap abis nyanyiin lagu INDONESIA RAYA? Pernah juga ga m...

Makanan Favorit di Setiap Masa "Ngidam"

Setelah bulan lalu saya gagal setoran karena kesulitan mencari waktu untuk menulis di sela-sela perubahan ritme kehidupan selama ramadan, bulan ini saya tidak mau lagi gagal setoran tulisan. Kebetulan tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang makanan favorit.  Sebenarnya kalau ditanya apa makanan favorit saya, jujur bingung sih jawabnya. Karena saya bisa dibilang pemakan segala. Buat saya makanan hanya ada yang enak atau enak banget. Hehe… Jadi kalau disuruh memilih 1 makanan yang paling favorit sepanjang masa, ya susah. Makanya ketika beberapa minggu belakangan ini saya sering terbayang-bayang satu jenis makanan, saya jadi terinspirasi untuk menjadikan ini sebagai tulisan untuk setoran tantangan bulan ini. Iya, saya memang sedang sering ngidam. Ngidam kurang lebih bisa diartikan keinginan dari seorang ibu hamil terhadap sesuatu, umumnya keinginan terhadap makanan. Ngidamnya setiap ibu hamil juga beda-beda, ada yang ngidamnya jarang tapi ada juga yang se...

Mama sang Wonder Woman

Mama adalah segalanya.. Mama adalah Wonder Woman terhebat yang pernah ada di dunia ini.. :) Di keluargaku, dan sepertinya juga hampir sebagian besar keluarga, mama merupakan sosok yang sangat memegang peranan penting dalam urusan rumah. Segala urusan rumah dari mulai cuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, masak, dan sebagainya itu semuanya mama yang urus.. Anggota keluarga yang lain seperti suami dan anak-anaknya mungkin juga ikut membantu, kadang bantu mencuci, bersih-bersih, ato urusan rumah lainnya. Tapi tetap saja kalau dihitung-hitung, pasti porsinya jauh sama yang biasa dikerjakan mama. Belakangan ini aku lebih sering ada di rumah. Dan dengan semakin seringnya ada di rumah, semakin aku mengerti sibuknya mama di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri. Sebagai seorang anak, pastinya sudah jadi kewajiban aku untuk bantu mama dalam mengurus rumah yang juga aku tinggali. Dengan aku sering ikut membantu mama melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, aku jadi tahu bah...