Untuk memulai tahun 2022, Komunitas Mamah Gajah Ngeblog memulai tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog dengan tema "Tentang Dirimu, Mamah Gajah". Tema yang cukup tricky, mengingat sulit untuk membuat orang lain tertarik dengan tulisan yang isinya hanya menceritakan tentang diri saya. "Siapa elo?" Mungkin itu yang akan dipikirkan para pembaca. Ya memang bukan siapa-siapa sih. Hehe..
Selain menceritakan tentang diri sendiri, terselip tantangan untuk menceritakan diri saya sebagai "mamah gajah". Untuk yang belum tahu, sebutan "mamah gajah" itu diberikan untuk perempuan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Kenapa gajah? Karena seperti yang diketahui, lambang ITB menggunakan gambar Ganesha yang adalah dewa berkepala gajah sebagai simbolnya. Jadilah lama kelamaan ibu-ibu alumni ITB yang tergabung dalam komunitas ITB Motherhood menyebut dirinya sebagai mamah gajah.
Gambaran Karakter Lulusan ITB
Saya akan menceritakan tentang diri saya sebagai mamah gajah dengan melihat dari gambaran umum karakter lulusan ITB. Sebelumnya sebagai disclaimer, beberapa gambaran karakter lulusan ITB ini saya ambil dari beberapa artikel yang pernah saya baca, juga dari opini yang pernah saya dengar langsung. Ada yang positif, ada juga yang negatif. Mungkin akan ada yang tidak setuju ya dengan beberapa gambaran karakter di bawah ini. Yaa, mohon maaf, namanya juga opini kan, bisa jadi banyak yang kurang sesuai dengan pendapat para pembaca. Apalagi jumlah lulusan ITB kan jutaan ya, jelas tidak mungkin semuanya memiliki karakter yang sama. Tapi secara umum ada karakteristik yang di mata masyarakat umum menempel pada lulusan ITB. Apa saja kira-kira?
1. Sombong
Lulusan ITB sering dianggap sombong. Ada yang bilang lulusan ITB sering bicara dengan gaya "melangit" seakan-akan dia paling bisa segalanya. Dan ada juga yang bilang bahwa lulusan ITB sering menolak pekerjaan dengan alasan "kan saya anak ITB, masa' pekerjaannya hanya seperti ini", atau "kan saya anak ITB, masa' gajinya hanya segini?" Hmmm,, jujur saya pernah sih bertemu anak ITB yang seperti ini. Dan jujur saya sendiri kurang nyaman mendengarnya. Hehe.. Mungkin karena saya tidak seperti itu, jadi saya merasa tidak nyambung.
Saya tidak pernah menyombongkan ke-ITB-an saya. Kalau nggak ditanya, ya saya nggak pernah bilang kalau saya lulusan ITB. Buat apa? Menurut saya sih lulusan ITB nggak banyak beda dengan lulusan universitas lain kok. Justru yang harus dilihat adalah bagaimana kinerjanya saat bekerja dalam tim. Mau lulusan ITB tapi ternyata nggak bisa kerja dalam tim alias mau-maunya sendiri, ya nggak oke jadinya. Atau sebaliknya, lulusan kampus kecil tapi etos kerjanya bagus dan mau bekerja sama dalam tim, ya jadi enak kan untuk diajak bekerjasama.
Memang ada rasa bangga menjadi alumni ITB karena saya sudah merasakan sendiri bahwa masuk dan keluar dari ITB itu butuh perjuangan, tapi rasa bangga itu tidak lantas membuat saya jadi merasa paling hebat. Karena jujur dulu begitu masuk dunia kerja sih saya langsung merasa ciut, karena saya tidak mengerti dunia kerja yang jelas beda dengan dunia kampus. Kalau saya tidak dibimbing oleh senior saya di kantor, pasti saya kebingungan sekali. Jadi buat apa merasa superior padahal pengalaman masih minim kan?
Sebenarnya sombong adalah salah satu sikap yang paling tidak saya sukai, dan karenanya tentu saya hindari juga. Itulah kenapa saya cukup irit bicara tentang diri saya sendiri terlebih kepada orang yang baru saya kenal, takut omongan saya disangka sombong. Kalau diminta menceritakan diri pun saya pasti bingung harus cerita apa, jadi mending ajukan pertanyaan saja deh nanti baru saya jawab. Hehe.. Dan itu tidak hanya soal menjadi mamah gajah ya, tapi dalam hal lain pun begitu. Saya cukup menghindari membalas obrolan dengan "kalau saya sihā¦ā¦ "
2. Pintar dan Suka Belajar
ITB sejak dulu dikenal sebagai salah satu kampus terbaik. Kampus idaman, khususnya bagi yang ingin berkecimpung di dunia teknik. Memang untuk menjadi mahasiswa ITB perlu melewati persaingan yang cukup ketat, karena jumlah pendaftar di ITB sangat jauh lebih banyak dibandingkan kuota yang diterima. Untuk bisa masuk ke ITB harus melewati ujian tingkat nasional yang tidak mudah yaitu SPMB (atau UMPTN, atau SBMPTN, atau sipenmaru, tergantung berasal dari era yang mana, hehehe). Jadi ya memang yang bisa masuk ke ITB ya memang orang-orang yang nilai ujiannya tinggi, dengan kata lain: pintar. Setelah menjadi mahasiswa pun, aneka tugas, kuis, hingga ujian menanti dengan intensitas tinggi. Tentu jadinya para mahasiswa itu mau tidak mau ya harus rajin belajar kalau mau lulus (apalagi kalau mau dapat IPK 4.0 kan). Jadi wajar kalau lulusan ITB disebut sebagai orang-orang yang pintar dan suka belajar.
Lalu apakah saya sesuai dengan karakter pintar dan suka belajar itu? Hmmm,, kalau saya bilang iya, sombong nggak sih jadinya? Hahaha.. Pintar atau nggak itu sebenarnya tergantung saya ada di sekitar siapa sih. Kalau saya berada di sekitar teman-teman ITB, saya terlihat biasa saja karena ya memang biasa saja. Teman-teman saya banyak yang lebih pintar dan rajin, mungkin bisa dilihat dari IPK saja kali yaa. Tapi kalau di lingkungan lain, kadang bisa dibilang saya cukup pintar. Maksudnya, punya pengetahuan umum yang cukup baik, mudah menangkap ilmu baru, juga bisa memahami topik obrolan dengan cukup baik juga. Kurang lebih seperti itulah.
Kalau soal rajin dan suka belajar, bisa dibilang saya lumayanlah. Kalau memang itu bagian dari tugas atau pekerjaan saya, ya pasti akan saya kerjakan dengan baik sesuai tenggat. Saya juga sangat suka membaca, dan dengan membaca tentu kita jadi belajar banyak hal baru kan. Sejak dulu sampai sekarang, tempat favorit saya selalu toko buku, dan saya selalu bisa berlama-lama berkeliling toko buku tanpa merasa bosan. Hanya saja sejak punya anak saya seperti kehilangan waktu untuk duduk dan membaca. Jangankan duduk membuka buku, duduk diam sekejap saja saya sudah pasti akan diganggu oleh anak. Kalau saya memaksa buka buku di depan anak-anak khususnya yang bayi, buku yang saya pegang pasti akan direbut lalu dijadikan mainan hingga kusut bahkan sobek. Hehe..
3. Ambisius
Banyak yang bilang juga lulusan ITB itu ambisius, cita-citanya tinggi, dan selalu siap kerja keras untuk mencapainya. Mungkin karena sebelum masuk ITB dan selama di dalamnya terbiasa dengan persaingan, jadi terbiasa juga punya mimpi yang setinggi-tingginya, dan tentu saja dibarengi usaha keras untuk mewujudkannya. Tapi apakah semua lulusan ITB seperti itu?
Kalau saya sih sejak dulu orangnya "selow", santai aja kayak di pantai. Saya tipe orang yang nggak neko-neko. Bikin resolusi tiap tahun baru saja jarang banget. Hehe.. Malah bisa dibilang seperti nggak punya mimpi kali ya. Saya jalani saja apa yang ada di depan mata. Ada target dalam kehidupan, tapi ya nggak pernah muluk-muluk. Go with the flow aja gitu. Jadi memang kurang cocok sih kalau disebut ambisius.
Tapi kalau dalam hal mengerjakan apa yang sudah menjadi tugas saya, saya selalu berusaha maksimal mengeluarkan seluruh kemampuan saya supaya mendapat hasil yang maksimal. Ketika (dulu) saya bekerja, dalam mengerjakan pekerjaan bagian saya ya saya akan all out dan tidak banyak mengeluh. Saya masih ingat ketika harus membuat laporan dan presentasi pekerjaan, pernah sampai harus pulang jam 2 pagi bahkan subuh untuk menyelesaikan pekerjaan. Bolak-balik survei ke lapangan dengan medan yang cukup menantang untuk mendapat data atau mengadakan rapat dengan penduduk sekitar saya jalani tanpa mengeluarkan keluhan meskipun sebenarnya lelah. Sampai sekarang pun setelah tidak bekerja kantoran dan menjadi IRT, saya selalu menghindari banyak mengeluh meskipun lelah. Ya sesekali bolehlah mengeluh lelah ke suami, tapi cukup jarang sih saya mengeluh. Paling kalau terlalu lelah dengan urusan rumah dan anak-anak, muka saya jadi ditekuk aja. Hehe..
Beratnya Jadi Mamah Gajah
Membawa-bawa predikat sebagai lulusan ITB ada plus dan minusnya sih. Kalau diketahui sebagai lulusan ITB, seringkali kita mendapat respon "wah", dan dianggap pintar dan hebat. Tapi justru, itu jadi beban tersendiri sih. Kita seperti dituntut untuk terus selalu hebat, pintar, dan bekerja keras. Padahal ya namanya juga manusia kan, nggak bisa selalu hebat. Ada juga salahnya, dan banyak juga malasnya.
Belum lagi mamah gajah yang seperti saya, yang tidak bekerja formal dan "hanya" menjadi IRT. Harus sering mendengar komentar seperti "susah-susah masuk ITB kok ujungnya hanya di dapur", atau "nggak sayang ilmunya?", atau "kalau cuma jadi IRT mah nggak usah kuliah di ITB kali", atau komentar sejenis lainnya. Gemes ya kadang dengarnya. Tapi ya itu kan pilihan. Dan bukan berarti seorang IRT itu nggak boleh sekolah tinggi di sekolah yang bagus loh. Justru, seorang ibu itu harus pintar karena dialah guru pertama untuk anak-anaknya. Kalau guru pertamanya nggak sekolah, bagaimana anak-anaknya mau pintar kan.
Seperti yang pernah saya ceritakan, saya tidak menyesal sudah menghabiskan bertahun-tahun kuliah hanya untuk berdiam diri di rumah. Karena ilmu dan kemampuan berpikir kritis yang saya dapatkan semasa berkuliah bisa menjadi bekal untuk saya mendidik anak-anak saya supaya nantinya mereka bisa juga sekolah sampai tinggi dan menjadi orang-orang hebat, pintar, dan sukses di dunia maupun akhiratnya. Aamiin..
---Begitulah sedikit cerita tentang saya yang introvert, pemalu, dan pendiam (di lingkungan asing tapi banyak bicara ngomel kalau di rumah, hehe). Apa cocok disebut mamah gajah? Hmmm,, iya dan tidak sih ya. Semoga tidak ada bagian dari tulisan saya yang terlihat sombong. Kalau ada, tolong diingatkan ya. Kalau menurut kalian sendiri, apa iya karakter lulusan ITB itu seperti yang saya tulis di atas? Dan kalau kalian adalah lulusan ITB, apa kalian sesuai dengan gambaran karakter tersebut? Boleh tulis di kolom komentar loh..
Hai teh Echa salam kenaal..
BalasHapusTeteh i feel you bgt yang nomer 2.. duluuu ke toko buku jadi healing space bangettt, ke gramed yg depan BIP atau ke togamas dah paling favoritt.. <3
Sekarang mah bener, boro2 mau duduk baca dengan tenang yah, blom ada 5 menit dah direcokin ama bocil-bocil hihi..
Salam kenal juga teh.. Iya, sebenarnya sih saya kangen banget main ke toko buku lalu pas pulangnya ngurung diri di kamar baca buku berjam2. Tapi yaaa gimana, skrg prioritasnya beda. Hehe.. Mungkin nanti kalo anak-anak udah sekolah normal bs dapat lg waktu untuk "me time" bareng buku.
HapusEcha, aduh saya jadi malu ihihiiy, saya pernah melalui episode songong. "ITB kok job desk nya begini siy, resign ahhh", tapi ga sampe keluar mulut, hanya saya batin saja. Wkwkwk. Ahh masa masa 'sombong' itu malah merugikan, pingin memberi semacam petuah untuk generasi baru lulusan ITB agar tidak seperti saya waktu itu. Serius deh, merugikan diri sendiri dan endak banget ehehe.
BalasHapusBtw beberapa waktu lalu sempat ke Bandung selama akhir pekan, jadi belum sempat membeli Es Tebu nya Echa. Insha Allah kunjungan berikutnya tidak lupa untuk nyobain. Tapi waktu itu saya lihat di GoFood kok ga ada yang area Puri Dago, Arcamanik/ Antapani ya? Adanya yang jauh jauh.
Nice to know u Echa, even baru sedikit tahu tentang sosok seorang Mamah Echa. :)
Hehehe,, makanya banyak yg ngecap lulusan ITB sombong tuh ya karna emang banyak kali ya fresh graduate yg songong gitu. Tapi ya mungkin lama2 kaya teh Uril jg, tersadarkan sendiri klo songong gitu tuh sebenarnya nggak banget. Hehe..
HapusWah,, belum jodoh ya teh? Mungkin waktu itu pas karyawannya lg ijin nggak masuk kali teh, jd lg tutup. Atau pas teteh lihat pas lg waktu sholat? Soalnya klo lg waktu sholat aplikasinya dimatiin sebentar buat karyawannya sholat, karna cm sendirian yang jaga booth. Semoga next time bisa berjodoh buat nyobain ya teh..