Tema bulan ini untuk tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog adalah tentang pendapat tidak populer atau lebih banyak yang mengenal dengan istilah unpopular opinion. Sempat bingung mencari topik tulisan, karena saya tidak cukup yakin apakah opini saya terkait berbagai hal itu termasuk opini tidak populer atau justru sebaliknya.
Namun saya mendapat ide saat beberapa waktu lalu bepergian dan melihat antrean sangat panjang di salah satu tempat makan hit di Kota Bandung. Antreannya bahkan sampai meluber ke trotoar jalan. Saat itu saya berbicara kepada suami “apa sih yang dicari orang-orang ini? Sebegitunya mereka mengejar tempat makan viral, sampai rela antre sepanjang itu. Padahal kalau enggak segera nyoba juga kan sebenarnya enggak masalah ya.”
Lantas tiba-tiba terlintas di pikiran saya bahwa opini yang saya utarakan kepada suami itu bisa jadi adalah opini yang tidak populer di sebagian masyarakat. Terbukti dengan serbuan yang terjadi setiap harinya pada tempat-tempat yang viral di media sosial. Tidak hanya tempat makan, tapi apapun yang viral di media sosial biasanya memang akan segera mendapat serbuan pengunjung. Seakan-akan kalau tidak segera berkunjung ke tempat hit itu orang-orang akan terganggu kelangsungan hidupnya.
FOMO: Fear of Missing Out
Sepertinya memang banyak sih orang yang merasa akan terganggu kelangsungan hidupnya kalau tidak segera mengikuti tren. Makanya mereka menjadi FOMO alias Fear of Missing Out, takut ketinggalan tren. Jadi meski harus berdesak-desakan, mengantre panjang, atau mengeluarkan uang lebih untuk jastip, mereka tidak begitu peduli. Yang penting bisa mengikuti tren yang sedang hit.
Alasannya mungkin karena mereka memang content creator yang harus membuat konten sesuatu yang sedang hit. Atau mungkin mereka sekedar merasa harus selalu menjadi yang paling tahu, jadi ketika berkumpul di tongkrongan bisa bilang “aku udah nyobain itu loh!” Atau justru hobi mereka adalah antre juga berdesak-desakan dan mereka bahagia saat melakukannya? Ya mungkin saja.
Yang jelas, saya bertolak belakang dengan mereka dalam hal mengejar tren. Saya justru menghindari harus antre panjang, baik untuk makan, masuk tempat wisata, atau membeli sesuatu. Kalau melihat antrean mengular seringnya saya balik kanan dan pergi dari sana, kecuali untuk hal yang memang penting dan urgent. Kalau hanya sekedar makan, main, nongkrong, sepertinya masih banyak tempat lain yang bisa dituju tanpa harus antre.
Selalu Ketinggalan Tren, Masalah?
Sejak media sosial berkembang, banyak hal yang sangat cepat menjadi viral lalu menarik orang-orang untuk segera mengikuti tren. Entah barang, makanan, tempat makan, tempat wisata, dan banyak hal lain. Misalnya saja tren labubu yang membuat orang rela antre seharian untuk bisa membeli boneka monster itu. Ada lagi Thai milk bun dan cokelat Dubai yang membuat orang-orang rela merogoh kocek lebih dalam untuk jastip dua makanan itu dari negara asalnya. Masih banyak contoh barang atau makanan lain yang viral dan jadi tren hingga diburu banyak orang. Tempat makan maupun tempat wisata pun banyak yang viral dan menarik banyak pengunjung hingga penuh berdesakan.
Saya sepertinya memang selalu ketinggalan tren, terbukti dari semua yang saya sebut di atas tadi tidak pernah ada yang saya kejar. Boneka labubu? Saya tidak pernah tertarik. Thai milk bun dan cokelat Dubai? Saya baru mencoba memakannya setelah sudah tidak terlalu hits, dan buatan lokal saja. Yang membeli pun kakak saya, bukan saya beli sendiri. Tempat makan atau wisata hit? Kalau antrean masuk masih panjang dan harus berdesakan, saya skip dulu deh.
Saya memang ketinggalan tren, tapi apa saya jadi merasa tertinggal? Ternyata ya tidak juga. Maksudnya, tidak ada tuh perasaan sedih karena belum mencoba makanan viral. Tidak ada juga perasaan malu karena tidak punya barang hit. Yang paling penting, kehidupan saya tidak terganggu sama sekali kok meski belum mencoba hal-hal yang sedang tren. Saya tetap bisa bahagia dengan hal lain yang saya punya.
Contoh bentuk FOMO masyarakat Kota Bandung yang rela berdesakan untuk melihat Desa Pelangi atau Lembur Katumbiri yang belakangan viral di media sosial.
Sumber gambar: IG @sekitarbandungcom
Tidak Menggantungkan Kebahagiaan Pada Orang Lain
Orang yang baru bisa happy setelah berhasil mengikuti tren, berarti dia menggantungkan kebahagiaannya pada benda atau orang lain. Baru bahagia setelah punya barang hit, atau baru bahagia setelah mendapat apresiasi dari orang lain setelah menceritakan pengalamannya mencoba sesuatu yang sedang tren. Dengan kata lain, jika mereka tidak segera mengikuti tren perasaan mereka jadi berantakan.
Padahal ada kalanya seseorang tidak bisa begitu saja langsung ikut tren membeli sesuatu atau mengunjungi suatu tempat baru. Entah ada kesulitan secara waktu, ekonomi, atau alasan lainnya. Lantas kalau tidak bisa segera mencoba sesuatu yang sedang tren, kebahagiaan jadi tidak bisa tercipta? Repot sekali kalau begitu.
Sementara bagi saya yang sama sekali tidak mempermasalahkan soal tren, kebahagiaan sangat bisa diciptakan dari hal lain yang terjadi dalam kehidupan saya. Bahkan hal sekecil menemukan penjual es kelapa muda saat hari sedang panas-panasnya saja bisa membahagiakan hari saya. Tidak perlu harus berpayah-payah mengikuti tren untuk bisa menemukan kebahagiaan.
Hemat Waktu, Tenaga, Biaya
Selain itu dengan sikap saya yang tidak peduli soal ketinggalan tren terkini, saya bisa menghemat banyak hal. Saya bisa menghemat waktu karena tidak perlu berlama-lama antre hanya untuk mendapat sebuah benda atau makanan yang sedang hit. Sementara bagi mereka yang rela antre lama demi mengejar sesuatu yang sedang hits, berapa banyak waktu mereka terbuang untuk antre? Padahal sebenarnya mereka bisa melakukan hal produktif lain dengan waktu tersebut.
Selain itu dari segi tenaga juga bisa lebih hemat. Mengantre itu melelahkan loh. Secara fisik jelas melelahkan, secara emosional juga melelahkan harus menunggu lama. Apalagi kalau antre dilakukan di luar ruangan, di bawah terik matahari, dan dilakukan siang-siang. Duh, apa tidak mending santai di rumah sambil nonton Netflix dan ngemil?
Lalu dari segi biaya juga jelas lebih hemat. Seringnya, barang atau makanan hits itu overrated dan juga overpriced. Sudah mahal karena produsen melihat demand masyarakat tinggi, secara kualitas juga kadang tidak sebanding dengan harganya. Apalagi kalau memaksakan beli tapi tidak mau antre sehingga pesan lewat jastip. Ada biaya tambahan yang juga tidak sedikit untuk akhirnya bisa mendapat barang viral yang diinginkan.
Ilustrasi menghemat dengan tidak harus selalu mengikuti tren.
Sumber gambar: pixabay
Belajar Menahan Diri
Barang, makanan, maupun tempat-tempat yang hit dan viral itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai kebutuhan primer. Maksudnya kalau tidak segera terpenuhi ya tidak mengganggu esensi hidup, kan? Tidak ada urgensi untuk harus segera mencoba sesuatu yang sedang tren. Itu hanya keinginan saja, bukan kebutuhan.
Keinginan itu tidak harus selalu harus dipenuhi? Sesekali boleh saja, apalagi kalau memang secara biaya dan waktu memang ada keluangan. Atau sebagai self reward karena sudah berlelah-lelah menjalani hari juga boleh. Namun tidak semua yang tren harus segera dicoba. Ada baiknya kita belajar menahan diri supaya tidak impulsif mengejar tren yang sebenarnya tidak penting-penting amat.
Hanya kepuasan saja yang didapat dari mengejar tren. Kepuasan itu pun tidak akan berlangsung lama, karena tren yang satu akan segera meredup digantikan dengan tren yang lain. Kalau harus terus mengikuti tren yang sekarang ini perubahannya sangat cepat, sepertinya akan lelah sekali.
Padahal rasa bahagia tidak harus dengan selalu jadi yang terdepan dalam hal tren. Ketinggalan tren tidak lantas membuat kita jadi bodoh. Ya mungkin hanya akan dibilang kurang gaul saja sih. Tapi opini orang tentang kita itu tidak sepenting itu, seharusnya tidak secara langsung bisa memengaruhi hidup kita. Bahagia bisa didapat dari banyak sekali hal sederhana lain, kok.
Saya join teteh, tim yang gak suka ikut yang viral2. Kadang ya cukup tau aja.
BalasHapusBukan target market kita hihi..
Mirip teh, aku juga gini karena keikut paksu yang ga suka repot hanya karena tren. Lama-lama iya juga sih, ngapain bersusah-susah demi ikut-ikutan ya?? Sayang waktu dan energinya
BalasHapusDi Bandung banyak tempat makan, yg mau makan aja musti antri. Ga masuk akal lah. Mosok, sate susu Mbok-mbok di pinggir jalan di area Gedung Sate pun antrinya sampai 20 meter. Heran banget...
BalasHapus11/12 setuju gak ikutan fomo. Kalau butuh baru beli, bukan karena ikut-ikutan ya Teh.
BalasHapusTeh Echa:
BalasHapus- FOMO: ✅️
- Ga masalah ga ikutan yg viral: ✅️
- Belajar menahan diri: ✅️
Setuju, Teh Echa.
Saya sudah pernah melalui era di mana saya FOMO dengan hal-hal kekinian, tapi tak ada kepuasan signifikan yang diraih. Ehehe.