Sekolah anak saya bekerja sama dengan Lestari Project memilih 25 siswa dari ratusan siswa kelas 3 dan 4 untuk menjadi perwakilan duta lingkungan hidup. Lestari Project sendiri adalah gerakan kepedulian yang terdiri dari praktisi pendidikan dan dunia usaha yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kecintaan generasi muda terhadap lingkungan melalui pendekatan kreatif dan edukatif.
Awalnya di sekolah diadakan kegiatan mendongeng dari pihak Lestari Project kepada seluruh siswa kelas 3 dan 4 dengan cerita berkaitan dengan lingkungan. Dari situ para siswa diuji pemahamannya dengan cara diminta menuliskan kembali cerita tentang lingkungan dengan gayanya masing-masing, lalu dipresentasikan di depan gurunya. Ternyata anak saya terpilih menjadi salah satu dari 25 siswa yang menjadi duta lingkungan sekolahnya. Gurunya bercerita kepada saya bahwa tulisan anak saya sangat bagus, menunjukkan bahwa dia sangat paham dengan cerita yang disampaikan tim Lestari Project, bahkan dia bisa membuat kesimpulannya sendiri.
25 siswa duta lingkungan tersebut kemudian berkesempatan untuk mengikuti kegiatan Forest Trip bersama tim Lestari Project. Saya bangga dengan pencapaian anak saya, dan senang karena dia bisa mendapat kesempatan untuk menambah wawasan dan pengalaman baru dengan mengikuti kegiatan Forest Trip tersebut. Kegiatannya sendiri dilakukan di area hutan di Kabupaten Padalarang.
Forest Trip
Pada hari kegiatan Forest Trip, sayangnya kondisi anak saya sepertinya kurang fit sehingga dalam perjalanan menuju hutan malah muntah-muntah. Akhirnya ketika sampai di lokasi, anak saya hanya mengikuti sebagian kegiatan, yaitu ke pabrik pensil yang tujuannya agar anak-anak lebih menghargai benda-benda yang mereka pakai sehari-hari yang berasal dari alam. Sementara saat perjalanan ke hutan anak saya dibolehkan beristirahat di ruangan kantor yang ada di sekitar hutan.
Sepulang dari hutan, 25 anak tersebut dibekali satu tunas pohon jabon putih untuk dibawa pulang dan dirawat di rumah masing-masing selama satu bulan. Pengalaman baru lagi untuk mereka, khususnya untuk anak saya yang sebelumnya belum punya pengalaman merawat tanaman. Jujur saya senang anak saya diminta merawat pohon jabon itu di rumah, karena pasti akan ada ilmu baru yang dia dapatkan khususnya tentang merawat tanaman.
Awalnya anak saya sempat merasa "ribet" dengan tugas barunya. Padahal sebenarnya tidak sulit, hanya perlu sedikit meluangkan waktu untuk menyiram tanaman, memindahkan ke tempat yang terkena sinar matahari, dan membuat jurnal tentang pertumbuhan tanamannya. Mungkin bagian membuat jurnal yang menurutnya sedikit merepotkan.
Anak saya bahkan sempat berucap saat sedang membuat jurnal, "ternyata kurang enak ya jadi anak pintar, sekarang jadi harus ada tugas tambahan begini." Saya sedikit tertawa mendengarnya, tapi kemudian saya mencoba meluruskan pemahamannya.
Tugasnya mungkin memang bertambah, tapi pengalamannya juga kan bertambah, dan hanya sedikit siswa yang berkesempatan mendapat pengalaman tersebut. Dengan diminta membuat jurnal juga berarti dia diasah kemampuannya untuk menulis dan bercerita, sementara teman-temannya yang lain tidak. Jadi dia one step ahead dong dibanding teman-temannya.
Setelah mendapat penjelasan begitu dia tidak lagi mengeluhkan tugasnya merawat tanaman dan membuat jurnal. Meskipun ya tetap harus diingatkan untuk menyiram, memberi sinar matahari, ataupun membuat jurnal. Namanya juga anak-anak ya, kadang masih kurang rasa tanggung jawabnya.
Selama 3 minggu pertama tanaman itu tumbuh dengan baik. Daunnya bertambah lebar, batangnya bertambah tinggi, juga muncul pucuk daun baru. Sayangnya, ada kesalahan dari saya yang membuat pohon jabon itu rusak bahkan akhirnya mati.
Anak saya pergi ke luar kota selama seminggu untuk mewakili sekolahnya bertanding futsal, jadi saya yang bertugas merawat pohon itu selama anak saya pergi. Ketika anak-anak dianjurkan untuk rajin memberi pupuk, saya mengikuti anjuran tersebut dengan memberi tanaman tersebut pupuk yang sudah diberi sebelumnya oleh pihak sekolah. Sayangnya saya memang bisa dibilang sama sekali tidak punya ilmu dan pengalaman merawat tanaman, jadi saya memberi banyak pupuk disebar di pot itu.
Beberapa hari kemudian daun di pohon tersebut menjadi layu. Ujung daunnya juga menghitam. Saya tidak paham apa yang terjadi dengan pohon itu dan tidak tahu juga harus melakukan apa untuk memperbaikinya. Malah pohon itu saya tinggal 2 hari untuk menginap di rumah orang tua saya. Sepulang dari rumah orang tua, ternyata seluruh bagian pohon sudah menghitam dan layu, tidak ada lagi batang yang berdiri tegak.
Belakangan saya baru tahu bahwa saya terlalu banyak memberi pupuk. Seharusnya hanya memberi 2 butir pupuk, tapi saya malah memberi belasan butir pupuk. Pohonnya jadi āterbakarā oleh bahan di dalam pupuk. Yah itulah, kalau beramal sebelum tahu ilmunya, tersesat jadinya kan. Karena kurang ilmu, juga kurang bertanya, saya malah membuat pohon jabon anak saya mati.
Dia agak kecewa, sempat tidak mau juga ikut rangkaian acara selanjutnya dari Lestari Project, yaitu mengembalikan pohon jabon yang dirawat di rumah itu kembali ke hutan. Dia berpikir, untuk apa ikut acara mengembalikan pohon kalau pohonnya saja sudah mati? Namun setelah saya bertanya pada gurunya, ternyata anak saya tetap diminta ikut acara selanjutnya karena nanti pohon matinya akan diganti dengan pohon yang baru.
Back to Forest
Dalam kegiatan Back to Forest yang bertujuan untuk mengembalikan pohon jabon ke hutan, orang tua dari 25 anak ini diperbolehkan untuk ikut. Sekolah menyediakan kendaraan khusus untuk orang tua yang mau ikut. Awalnya anak saya tidak meminta saya ikut, tapi belakangan setelah mendengar ibu dari teman-temannya ikut, dia ingin saya ikut juga. Sempat ragu karena merasa repot kalau harus membawa adik-adiknya ke Padalarang seorang diri, tapi akhirnya saya memutuskan ikut setelah toddler saya bersedia ditinggal di rumah eyangnya. Jadi saya hanya perlu membawa bayi yang memang masih harus menempel untuk menyusu.
Perjalanan menuju hutan ternyata memakan waktu cukup panjang. Jalurnya agak berkelok, dan semakin mendekati area hutan jalannya juga berbatu, bukan lagi jalan aspal. Untungnya bayi saya sangat kooperatif karena tidur sepanjang jalan, jadi tidak perlu ada drama rewel di mobil. Anak pertama saya juga kali ini kondisinya fit sehingga tidak ada mabuk perjalanan.
Sesampainya di hutan, anak-anak beristirahat sebentar kemudian langsung masuk ke acara utama pengembalian pohon ke hutan. Tim Lestari Project sudah menyiapkan satu area untuk anak-anak mengembalikan pohon jabon yang sudah dirawatnya kembali ke tanah hutan. Sudah ada titik-titik tanah yang disiapkan dengan jarak antar titik sekitar 2 langkah.
Pengembalian pohon tersebut ternyata tidak hanya sekedar memasukkan pohon ke tanah, tapi sebelumnya anak-anak diajak berbicara dengan pohonnya masing-masing. Anak-anak diajak mengucapkan kalimat perpisahan, serta doa untuk pohon yang sudah dirawatnya selama hampir 2 bulan. Bahkan anak-anak diajak memberikan sentuhan sayang kepada daun maupun batang dari pohon jabonnya.
Proses ini saya yakin bertujuan untuk menanamkan rasa sayang dan cinta anak-anak terhadap pohon. Harapannya pasti agar nanti mereka akan selalu menjaga dan memperlakukan pohon dengan baik, karena pohon adalah makhluk hidup yang juga harus disayang dan dirawat dengan hati.
Anak-anak lalu menggali tanah dengan tangan kosong, memasukkan kantong berisi pohon mereka, dan kembali menutupinya dengan tanah. Setelah ucapan perpisahan terakhir, anak-anak pun meninggalkan pohon yang sudah mereka rawat itu. Menurut penjelasan dari tim Lestari Project, pohon-pohon tersebut nantinya akan dipindah ke area hutan lain yang lebih luas, tapi identitas dari masing-masing pohon akan tetap menempel padanya. Nama yang sudah diberikan anak-anak pada pohonnya masing-masing, juga nomor seri dari tim Lestari Project akan selalu menempel pada pohon tersebut.
Apresiasi Duta Lingkungan
Acara dilanjutkan dengan pemberian apresiasi kepada semua peserta yang menjadi duta lingkungan. Tim Lestari Project sudah menyiapkan selempang dengan āgelarā yang berbeda-beda untuk masing-masing anak. Ada gelar ratu daun, raja daun, pendongeng alam terbaik, jurnal harian terbaik, pengamat flora terbaik, dan lain-lain. Anak saya mendapat gelar āpenjaga pohon paling setiaā, mungkin karena meski pohonnya hampir mati tapi masih diusahakan disiram juga masih membuat jurnal harian. Walaupun akhirnya tetap mati. Heheā¦
Setiap anak dipanggil satu per satu sambil sedikit ditanyai tentang pohon yang dirawatnya, baru diberikan selempang dengan tulisan gelarnya masing-masing. Selain gelar individu itu, ternyata dipilih juga 1 orang untuk menjadi duta konservasi hutan, yaitu duta terpilih yang mewakili sekolah untuk nanti katanya akan mengikuti kegiatan bersama duta terpilih sekolah lain. Yang terpilih adalah teman sekelas anak saya, yang memang punya kemampuan public speaking yang baik. Setelah acara award, kegiatan selesai dan anak-anak beserta orang tua dapat pulang setelah makan siang.
Saya senang dengan adanya pemberian award atau apresiasi ini untuk anak-anak. Saya yakin ada kebanggan yang terselip di hati mereka mendapatkan apresiasi tersebut. Apalagi di sekolah pun nama mereka dipanggil saat upacara di depan warga sekolah. Harapannya semoga dengan apresiasi itu anak-anak selalu ingat bahwa dirinya pernah dipilih menjadi duta lingkungan sehingga akan selalu menjaga lingkungan dengan baik.
Penutup
Secara keseluruhan kegiatan ini menurut saya sangat bermanfaat untuk anak-anak. Kebiasaan yang ditanamkan, sampai apresiasi yang diberikan saya rasa sangat baik untuk keseharian anak-anak. Kegiatan merawat tanaman selama sebulan lebih tentu tidak semudah itu dilupakan anak-anak, sehingga ke depannya mereka akan selalu terbiasa untuk menjaga dan merawat tanaman di sekitar mereka.
Saya juga sangat bersyukur anak saya punya kesempatan untuk terpilih menjadi duta lingkungan. Selain kepercayaan dirinya yang meningkat karena berbagai apresiasi yang diberikan baik dari pihak Lestari Project maupun dari pihak sekolah, ilmu dan kebiasaan yang diberikan juga sangat baik.
Terbukti setelah terpilih menjadi duta lingkungan, saat saya mengajak anak-anak saya ke Taman Hutan Raya Djuanda di Bandung dan saya menjelaskan tentang pentingnya menjaga tanaman dan hutan dalam kehidupan, anak pertama saya berkata ātenang aja, aku tahu kok, kan aku duta lingkungan, bun,ā dengan terselip nada kebanggaan dalam suaranya. Mendengar hal itu saya tersenyum, ikut bangga dan senang karena ilmu dari kegiatan menjadi duta lingkungan ternyata masuk ke otak dan hati anak saya. Semoga bertahan sampai dewasa nanti ya, nak.
P.S
Saat anak pertama saya disuruh memberi nama untuk pohon jabonnya, dia memilih nama Dinan untuk nama pohonnya. Ternyata dia sesayang itu ya sama adiknya, sampai pohon pun dia beri nama yang sama dengan adiknya. Padahal kalau di rumah kerjaannya bertengkar dan ribut terus, tapi di dalam hati sih ternyata sesayang itu. Hehe..
Komentar
Posting Komentar