Kapan biasanya seseorang mulai mencari tahu soal jurusan kuliah dan mulai menetapkan hati mau kuliah di jurusan apa? Macam-macam sih ya kayanya, ada yang dari kecil sudah terlihat bakat dan minatnya, tapi ada juga yang bahkan sampai mau mendaftar masih bingung mau daftar ke jurusan apa. Saya termasuk yang tidak terlihat jelas arah minat dan bakatnya, dan saya sendiri pun tidak memiliki keinginan khusus untuk kuliah ke jurusan tertentu. Dan karena itu, saya manut-manut saja dengan arahan dari orangtua saya.
Sebenarnya orangtua saya tidak pernah secara spesifik menyuruh saya masuk jurusan tertentu sih, tapi bisa dibilang semacam diarahkan saja. Kebetulan papa saya adalah lulusan ITB sementara mama lulusan Unpad, dan sejak kecil kami anak-anaknya sudah mendapatkan gambaran bahwa ITB dan Unpad adalah 2 kampus terbaik di Bandung, bahkan Indonesia. Jadi secara tidak langsung papa dan mama seakan sangat mengharapkan anak-anaknya akan menjadi lulusan dari almamater yang sama dengan papa dan mama, walaupun kami tidak pernah secara langsung dituntut untuk masuk ke kampus-kampus tersebut.
Papa dan mama kebetulan tipe orangtua yang sangat terbuka, tidak suka mendikte atau menuntut anak-anaknya menuruti keinginan mereka. Hanya saja ketika kita terus menerus mendengar tentang dua kampus tersebut, secara tidak sadar kita jadi "terdoktrin" bahwa dua kampus tersebut adalah pintu menuju masa depan yang cerah. Padahal ya gak jaminan juga, ya kaaann.. Hehehe.. Tapi ya pemikiran anak SMA masih gak sedalam itu kan, jadi akhirnya ya saya termotivasi untuk bisa masuk ke salah satu kampus tersebut. Karena kampus Unpad untuk jurusan IPA adanya di Jatinangor semua (yang berarti tiap hari harus keluar kota untuk kuliah kan), jadi saya lebih memilih untuk masuk ke ITB. Walaupun banyak yang bilang anak IPA masuk ke jurusan IPS seperti ekonomi juga bisa saja, tapi saya memang tidak begitu suka pelajaran IPS. Makanya walaupun Unpad punya kampus di Dipati Ukur, tapi karena jurusannya IPS semua jadi tidak begitu saya lirik.
Karena saya tidak terlihat memiliki kecenderungan untuk masuk ke jurusan tertentu, papa mulai memberi gambaran mengenai jurusan yang dulu diambilnya, yaitu Planologi, atau yang sekarang jurusannya dinamai Perencanaan Wilayah dan Kota. Papa memang sepertinya menginginkan ada anaknya yang mau meneruskan jejaknya kuliah di jurusan Planologi, sekaligus nantinya meneruskan perusahaan konsultan miliknya. Seingat saya kedua kakak saya juga sempat diberi gambaran soal planologi, tapi kedua kakak saya tersebut tidak begitu tertarik dan malah lebih memilih kuliah di jurusan Biologi (hanya saja kakak pertama kuliah di Biologi ITB sementara kakak kedua kuliah di Biologi Unpad). Nah, saya, sepertinya lebih mudah untuk menerima "arahan tidak langsung" dari papa tersebut.
Sebenarnya saya masih kurang begitu paham dengan gambaran yang papa berikan tentang planologi. Saya hanya menangkap bahwa di planologi itu tidak mempelajari kuartet ilmu eksakta yang sering dianggap memusingkan (yaitu MaFiKiBi). Dan hal tersebut saya anggap sebagai angin segar, karena saya memang sejak lama ingin berjauhan dengan yang namanya fisika. Hahaa.. Kalau kimia dan biologi masih okelah, sementara kalau matematika sebenarnya saya suka sejak kecil dulu. Selain itu yang saya tangkap dari gambaran yang papa saya berikan adalah planologi itu isinya ilmu tentang tata kota, jadi gak terlalu teknik-teknik banget, malah ada ilmu-ilmu terkait sosial ekonomi gitu. Jadilah dengan berbekal pemahaman seawam itu, dukungan dari papa, dan diyakinkan dengan sholat istikhoroh, saya akhirnya menjadikan planologi (PL) sebagai pilihan pertama untuk SPMB.
Jangan ditiru ya yang saya lakukan itu, memilih tanpa benar-benar memahami. Hehe.. Sebaiknya kita benar-benar mengenal apa yang akan kita pilih. Apalagi, kuliah itu bukan cuma dijalani selama satu dua bulan, tapi bisa sampai 4 tahun atau bahkan lebih. Kalau kita kurang mengenal apa yang kita pilih, lalu ternyata di tengah jalan ada ketidakcocokan, kan sayang sekali karena ada waktu yang "terbuang" untuk hal yang tidak kita sukai. Walaupun sebenarnya kalau mau diambil sisi positifnya, saat kita mencoba lalu ternyata menemukan ketidakcocokan itu bisa juga menjadi sebuah pembelajaran hidup, yang akhirnya membuat kita lebih mengenal diri kita sendiri. Tapi kalau untuk saya, rasanya sayang sekali kalau ada waktu yang "terbuang" akibat kita kurang teliti dan kurang mencari tahu dalam menetapkan suatu pilihan atau keputusan.
Setelah menetapkan pilihan pertama, saya kembali bingung untuk menentukan pilihan kedua. Awalnya sempat tertarik dengan jurusan Teknik Lingkungan, tapi tidak jadi saya pilih untuk SPMB karena passing grade TL lebih tinggi daripada PL, sementara saya ingin menempatkan PL di pilihan pertama. Akhirnya setelah banyak berpikir, saya memutuskan untuk memilih mata pelajaran favorit saya sejak SD, yaitu matematika, sebagai jurusan yang akan menjadi pilihan kedua dalam SPMB. Alasannya? Karena saya suka matematika, itu saja alasannya. Saya gak berpikir panjang bahwa ilmu murni seperti matematika ini tentu gak semudah pelajaran matematika di SMA apalagi SMP. Hehe..
Singkat cerita, ketika pengumuman hasil SPMB, saya menemukan nama saya di koran dan ternyata saya diterima masuk di pilihan pertama saya, yaitu Planologi. Alhamdulillah, ternyata saya berhasil menembus kampus ITB dengan jurusan yang saya pilih, juga bisa meneruskan perjalanan papa sebagai anak PL. Sebelum pengumuman SPMB, sebenarnya sebgai "cadangan" saya juga mendaftar di universitas swasta, tepatnya Itenas. Jurusan yang saya pilih adalah TL, seperti jurusan yang tadinya ingin saya jadikan pilihan kedua di SPMB namun urung karena passing grade nya yang ada di atas PL. Saya mengikuti tes masuk dan sudah diterima bahkan sudah mendaftar ulang. Tapi karena ternyata saya berhasil lolos pilihan pertama di SPMB, pendaftaran di Itenas pun dibatalkan.
Ketika sudah bertemu dengan teman-teman seangkatan di PL, ternyata sebagian teman yang memilih PL juga sama kurang pahamnya terhadap "isi" dari jurusan ini. Lalu apakah setelah kita melewati bertahun-tahun kuliah dan menjalani berbagai mata kuliah lalu kita jadi benar-benar paham "isi" dari jurusan ini? Ternyata tidak juga. Hahahaa.. Maksudnya, bukan berarti jurusan ini tidak ada isinya yaa, hanya saja ternyata ilmu planologi ini bisa dibilang ilmu yang luas sekali. Dan apa yang dipelajari di jenjang S1 ini hanya "kulitnya saja". Jika ingin terjun benar ke dunia perencanaan wilayah dan kota, perlu ilmu yang lebih mendalam yang bisa didapat dengan melanjutkan ke jenjang pasca sarjana dengan fokus pada sub bidang tertentu.
Meskipun begitu saya selalu ingat perkataan kedua orang tua saya, bahwa kuliah S1 itu tidak melulu ilmu di jurusannya saja yang penting. Tapi kuliah dapat mengasah pola pikir seseorang menjadi lebih kritis, sehingga sudut pandang orang tersebut terhadap suatu masalah akan menjadi lebih luas dan lebih baik. Dan pada akhirnya ketika orang tersebut dihadapkan pada suatu masalah yang membutuhkan pengambilan keputusan, orang tersebut dapat memilih solusi yang lebih baik karena pola pikirnya sudah terasah dengan berkuliah.
Karena itulah, ketika akhirnya saya yang telah menyelesaikan kuliah dan sempat bekerja beberapa tahun lalu memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan meninggalkan dunia kerja kantoran untuk sepenuhnya mengurus anak-anak di rumah, orang tua saya tidak terlalu kecewa. Mereka tidak merasa "rugi" sudah menyekolahkan anak-anaknya sampai bangku kuliah tapi ternyata anak-anaknya "hanya" berakhir di rumah. Karena orang tua saya tahu bahwa untuk menjadi ibu rumah tangga yang mengurus dan mendidik anak-anaknya, kemampuan berpikir kritis yang didapatkan dari kuliah tetap akan sangat berguna. Saya sendiri pun tidak merasa "rugi" sudah menghabiskan bertahun-tahun kuliah dan melewati perjuangan panjang dalam menyelesaikan studi S1 hanya untuk berakhir di dapur. Tidak ada penyesalan karena saya sudah sempat merasakan dunia kerja, dan saya pun yakin bahwa apa yang saya dapatkan di masa perkuliahan (khususnya kemampuan berpikir kritis) akan dapat berguna dalam kehidupan saya sebagai ibu rumah tangga, atau kehidupan macam apapun yang akan menunggu saya di masa depan nanti. Karena siapa yang tahu apa yang akan menunggu saya nanti bukan? Allah SWT pasti mengqodarkan saya untuk berkuliah di Planologi ITB untuk menyiapkan saya menghadapi masa depan saya, InsyaAllah..
-------------
Tulisan ini saya buat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2021 dengan tema "mengapa memilih kuliah di jurusan masing-masing".
Tulisannya sangat menghangatkan hati, Teh, di dua paragraf terakhir. Pemikiran-pemikiran itulah yang bikin saya dan mungkin banyak perempuan sarjana lainnya bisa bertahan, saat ada mulut usil yang bertanya, "Ngapain capek-capek kuliah kalo cuma buat jadi IRT?"
BalasHapusWah teh, salut dengan orangtuanya berpikiran demikian, karena jarang lho yang berpikir begitu. U know kan kampus gajah dan harapan anak yang sudah berhasil lulus dari situ, ortu biasanya harapannya besar.
BalasHapusMenurut saya jg ga salah menentukan jurusan dengan shalat istikharah karena umumnya anak SMA masih clueless jadi menyerahkan jawaban ke YME Itu udah bener
Teh sungkem dulu saya sama senior planologi hehehe. Setuju teh saya juga paling merasakan dari kuliah PL itu kebentuk banget pola pikir perencananya, dan kritis juga, walaupun emang sampe sekarang masih bingung sebenernya teh PL ngapain wqwqwq
BalasHapusAt least anaknya orangtua teteh jurusan "logi" semua ya, Biologi dan Planologi,hihi,.,
BalasHapusWaahh 2 kalimat terakhir yg jlep teh.. makasih atas pencerahan di tengah kegalauan saya hahahaha
BalasHapusWah, akhirnya jadi IRT teh? Berarti engga jadi nerusin konsultan ayahnya ya?
BalasHapusBelajarnya tata kota. Sekarang jadi ibu, kerjanya tata rumah ya..
BalasHapusšš¤
Setuju .. kepake bgt dasar pendidikan S1 sbg ibu bukan terkait disiplin ilmunya sendiri yaa .. aku jg ngerasain bgt ini, alhamdulillah
BalasHapushai teteh setuju 2 paragraf terakhir bikin hati adem, eh kaka2 teteh se almamater dgn saya dong ya. hehe. smangat terus yaa teh!
BalasHapusTerimakasih sharingnya teh, setuju banget bahwa pendidikan tinggi tidak melulu tentang akan berkerja dimana, tapi juga pola pikir yang akan berguna dimanapun kita berada. Salut untuk Teteh dan orangtua :)
BalasHapus