Langsung ke konten utama

Ceritaku Sebagai Penyintas Covid-19

Ini sebenarnya tulisan yang agak late post. Butuh waktu untuk menulisnya, lagi-lagi karena kesulitan cari waktu untuk fokus menulis. Tapi walau agak terlambat, tetap mau bercerita sedikit yaa tentang pengalaman saya tentang covid-19.

2 Kali Positif

Juli 2019, tanpa benar-benar direncanakan sebelumnya, saya mendapati bahwa saya ternyata positif hamil. Sebenarnya hati sudah ingin nambah anak lagi, karena Dinand sudah hampir 3 tahun juga umurnya, dan umur saya sendiri sudah masuk kepala 3. Tapi sempat berpikir bahwa sepertinya hamil dalam kondisi pandemi seperti ini bukan kehamilan yang ideal. Jadi memang belum merencanakan untuk memprogram kehamilan anak ketiga. Tapi ternyata Allah mengqodarkan saya untuk hamil anak ketiga. Tetap senang, excited, dan bahagia dengan berita ini, namun tidak bisa dipungkiri ada sedikit kecemasan akibat pandemi.

Ternyata, belum genap 6 bulan sejak saya mendapati hasil testpack positif, saya mendapati bahwa saya "positif" lagi. Hanya saja "positif" ini tidak membuat excited apalagi bahagia, justru sebaliknya saya merasa seperti terkena petir di siang bolong. Jadi, di akhir tahun 2019 yang lalu, beberapa hari menjelang pergantian tahun, saya dapat cobaan berupa kedatangan "tamu tak diundang", yang tidak lain adalah si covid-19. Berawal dari suami yang pada tanggal 29 Desember 2020 tiba-tiba mengaku tidak bisa mencium wangi parfum, di situ rasa hati sudah ga menentu, karena salah satu gejala khas covid kan anosmia itu ya. Akhirnya malam itu juga suami langsung swab antigen, yang ternyata hasilnyaaaaaaaa,,, positif. Saat saya dikabari lewat telepon, hanya bisa menghela napas, jujur saya bingung. Panik sih ngga ya pada saat itu, hanya bingung. Suami sempat menawarkan apa saya dan anak-anak mau ke rumah mamah aja biar lebih tenang? Tentu saya jawab tidak, karna saya harus memastikan dulu bahwa saya sendiri "aman", tidak akan menularkan ke siapapun lagi apalagi ke orang tua dan keluarga saya.
Esok paginya tanggal 30 Desember 2020, saya pun langsung swab antigen karena jelas kontak erat dengan suami. Sambil menunggu hasil swab, ya kami menerapkan protokol kesehatan di rumah. Saya dan suami sama-sama pakai masker medis terus, anak-anak juga sebisa mungkin pakai masker (walau agak susah sih untuk mereka ga pakai lepas masker). Saya masih berharap bisa negatif, karena banyak juga kan suami istri yang serumah tapi yang positif hanya salah satu saja. Sorenya, saya dikabari kalau ternyata hasil swab saya positif juga. Apa mau dikata, tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain menjalani isolasi mandiri bersama suami.

Cerita Isolasi Mandiri

Dari kami berempat (saya, suami, dan anak-anak) sebenarnya hanya saya dan suami yang menjalani tes covid (swab antigen). Awalnya saya sempat galau apakah anak-anak perlu swab juga atau tidak. Tapi setelah mendengar masukan dari sana sini, akhirnya diputuskan anak-anak ga perlu swab dulu, kecuali kalau tiba-tiba muncul gejala sekecil apapun. Hanya saja, saya dan suami harus benar-benar ketat menerapkan protokol di rumah. Pakai masker sepanjang hari, sebisa mungkin jaga jarak sama anak-anak, semprot disinfektan sana sini, jaga kebersihan seketat mungkin. Tujuannya? Kalau di badan anak-anak ternyata tidak ada virus covid, ya jangan malah jadi tertular karena protokol dari kedua orangtuanya yang kurang, kan. Dan saya tidak menyesal dengan keputusan itu, karena salah satu alasan yang membuat saya kuat menghadapi drama covid ini adalah karena saya tetap masih bisa bersama anak-anak, bahkan full 24 jam bersama anak-anak dan suami. Suatu hal yang sangat jarang sekali terjadi. Ga terbayangkan rasanya kalau saya isolasi tanpa ditemani anak-anak. Mungkin imun tubuh saya malah menurun karena kangen, kepikiran, dsb. Saya beruntung memiliki kesempatan tetap bersama anak-anak walau dalam keadaan isolasi.

Karena anak-anak termasuk tipe yang "nempel terus sama bunda", saya masih tidur satu kamar dengan anak-anak, hanya beda kasur. Itu pun butuh penyesuaian dari Dinand, karena dia selama ini kalau tidur masih harus selalu menyentuh badan bundanya. Bed time stories tetap ada walaupun saya bercerita sambil duduk di ujung kasur, tidak seperti biasanya sambil tiduran bersama anak-anak. Di tengah malam kadang Dinand bergeser tidurnya ke pinggir kasur, dan tangannya menjuntai ke bawah ke arah saya yang tidur di kasur bawah. Kondisi seperti itu kadang membuat saya terenyuh, tidak bisa dipungkiri saya cukup sedih melihatnya. Saya dan anak-anak tidak bisa berpelukan dengan nyaman seperti biasanya, tidak ada kecupan sayang seperti biasanya, dan sentuhan-sentuhan sayang lainnya. Tapi saya masih harus bersyukur bahwa saya masih bersama dengan mereka, main dengan mereka, dan melihat mereka sehat.

Karena masih satu kamar, jadi tidur pun saya tetap pakai masker. Pernah coba tidur pakai masker? Masker medis ya, bukan sleep mask buat skin care 😂 Sungguh, pakai masker KN95 sambil tidur rasanya sangat tidak nyaman. Eungap, istilahnya dalam bahasa Sunda. Tapi demi kebaikan dan keamanan anak-anak, ketidaknyamanan seperti apapun pasti tidak jadi masalah untuk seorang ibu, kan? Saya benar-benar hanya membuka masker saat di kamar mandi dan saat makan. Sisanya, masker selalu menempel di area hidung dan mulut.

Pada awalnya saya sama sekali tidak merasakan gejala apapun. Indera penciuman baik, indera perasa baik, badan tidak terasa ada masalah (kecuali nyeri pinggang dan nyeri selangkangan yang sangat wajar terjadi pada ibu hamil yang sudah memasuki trimester ketiga 😂). Karena itu saya merasa cukup pede bahwa saya akan segera sembuh/negatif. Sayangnya di hari Sabtu tanggal 2 Januari 2021, saat malam hari saya menyemprot kamar dengan obat nyamuk, saya tidak bisa mencium aroma dari obat nyamuk tersebut. Seketika muncul ketakutan di hati saya, dan saya pun langsung mengirim WA ke mama dan meminta doa beliau. Kebetulan saya memiliki teman yang sebelumnya pernah positif covid juga dan bersedia sharing pengalamannya saat itu. Setelah sharing dengan teman saya tersebut, hati saya pun menjadi lebih ringan dan ikhlas menjalani kondisi penciuman saya yang memburuk. Penciuman hilang itu benar-benar aneh rasanya. Mandi terasa hambar karena sabun yang dipakai jadi sama sekali tidak ada wanginya. Bahkan minyak kayu putih yang wanginya sangat kuat pun hanya bisa saya cium wanginya samar. Untungnya kondisi tersebut hanya berlangsung sekitar 3 hari. Hari Selasa tanggal 5 Januari 2021 saya mulai samar-samar bisa mencium wangi sabun mandi yang dipakai. Bahkan esok harinya saya merasa penciuman saya sudah kembali normal.

Karena kami melakukan pelaporan kepada gugus covid di RT, tim gugus covid membantu menghubungkan kami dengan puskesmas, dan kemudian kami dijadwalkan untuk swab PCR. Hari Senin tanggal 4 Januari 2021 kami menjalani swab PCR di puskesmas. Dan ternyata hasil swab PCR tersebut yang keluar pada hari Kamis (tanggal 7 Januari 2021) menunjukkan suami sudah negatif sementara saya masih positif, bahkan CT Value nya masih cukup rendah (yaitu 19). Walaupun saya masih positif, tapi kondisi suami yang sudah negatif sungguh suatu hal yang wajib disyukuri, alhamdulillah. Kemungkinan suami sudah negatif karena sudah lebih dulu tertular virus dibandingkan saya. Sementara saya mungkin baru tertular dari suami setelah suami beberapa hari tertular virus. Jadi saya tidak ambil pusing dan tetap melanjutkan vitamin serta pola hidup sehat yang sudah dijalani sebelumnya.

Sebenarnya arahan dari puskesmas, kami tidak perlu melakukan swab PCR ulang untuk mendiagnosis kami sembuh. Karena kami termasuk hanya bergejala ringan, jadi kami cukup hanya melakukan isolasi mandiri 10 hari + 3 hari sejak gejala hilang. Suami yang terkonfirmasi positif pada tanggal 29 Desember 2020 perlu melakukan isolasi mandiri sampai tanggal 12 Januari 2021 (walaupun pada tanggal 4 Januari 2021 hasil swab sudah menunjukkan negatif, tapi tetap disarankan melanjutkan isolasi mandiri sampai tanggal 12 Januari 2021). Sementara saya, karena hasil swab PCR tanggal 4 Januari 2021 menunjukkan hasil positif dengan CT value agak rendah, jadi isolasi mandiri terhitung sejak tanggal tersebut, sampai tanggal 17 Januari 2021.
Hanya saja karena saya sudah merasa pede dengan kondisi badan saya, dan untuk meyakinkan diri sendiri dan keluarga bahwa kami sekeluarga sudah sembuh, dan supaya kami sekeluarga bisa hadir pada pernikahan adik terakhir saya yang akan dilaksanakan tanggal 17 Januari 2021, kami memutuskan untuk saya kembali melakukan swab PCR (secara mandiri) pada tanggal 11 Januari 2021.

Selain saya melakukan swab PCR, anak-anak pun akhirnya menjalani swab antigen supaya kami benar-benar yakin kami tidak akan menularkan siapapun saat kami kembali bertemu dengan keluarga nantinya. Anak-anak sudah disiapkan mentalnya untuk menjalani tes swab, karena saya dan suami tahu sekali betapa tidak nyamannya hidung dicolok dalam prosedur tes swab. Yang pertama kali melakukan swab adalah saya, diikuti oleh Alka lalu Dinand. Alka terlihat tertawa sekaligus ingin menangis saat di-swab, karena memang sensasi awalnya adalah geli, tapi ketika alat swab masuk semakin dalam ke hidung, sedikit terasa sakit. Tapi Alka pintar karena tidak menangis. Kesalahan saya adalah membiarkan Dinand melihat proses saat kakaknya melakukan swab, jadi ketika tiba giliran Dinand, dia ketakutan. Dengan sedikit paksaan (maaf, nak), akhirnya Dinand berhasil di-swab walau memberontak dan menangis. Sungguh hati bunda sebenarnya menangis nak melihat kamu harus menjalani proses tersebut. Apalagi sepertinya dia sungguh sakit hati dengan paksaan tersebut, karena dia menangis sejak dilakukan swab, sepanjang perjalanan pulang, bahkan sampai ke rumah pun dia masih menangis dan marah. Untungnya setelah sampai rumah, mungkin dia sudah menemukan kenyamanannya, dan dengan ajakan main dari kakaknya juga, mood nya segera membaik. Huhuu,, semoga ga ada lagi yaaa drama macam ini..

Tapi ternyata keputusan untuk swab PCR sendiri adalah keputusan yang kurang baik. Kenapa? Karena, walaupun hasil swab anak-anak negatif, ternyata saya masih positif, saudara-saudara. Walaupun nilai CT nya sudah meningkat dari 19 menjadi 32. Saya yang tadinya sudah pede akan negatif karena benar-benar tidak ada keluhan sedikitpun di badan saya, setelah mendengar kabar kalau ternyata saya masih positif malah jadi sedih berkepanjangan. Rasanya mental saya lebih drop daripada ketika pertama kali didiagnosis positif covid, entah karena apa. Bisa jadi karena saya terlalu pede, mengingat hasil PCR suami pun sudah negatif hanya 3 hari sejak gejala anosmianya hilang. Sedangkan saya, saat melakukan swab gejala anosmia sudah hilang 6 hari, maka saya berpikir harusnya saya juga sudah negatif dong. Tapi ternyata belum, dan jujur saja saya saat itu benar-benar terpukul. Emosi jadi labil, senggol bacok lah istilahnya.

Saya sempat kesal sama suami, karena suami menyebut-nyebut soal ramuan herbal. Jadi karena saya sedang hamil, beberapa obat/vitamin yang dikonsumsi saya dan suami agak berbeda. Suami mengkonsumsi sebuah ramuan herbal yang konon sudah menyembuhkan banyak sekali pasien covid. Saya jelas ragu apakah ramuan tersebut boleh dikonsumsi oleh ibu hamil, karena setahu saya jamu-jamuan adalah salah satu jenis pangan yang terlarang untuk ibu hamil. Terlebih, ramuan tersebut sama sekali tidak mencantumkan komposisinya, bahkan sengaja disebutkan ada 1 "bahan rahasia", jadi mana saya berani mengkonsumsi ramuan tersebut? Nah, ketika hasil swab saya ternyata masih positif, suami (dan sebenarnya papa saya juga) kembali menyebut-nyebut soal saya yang menolak minum herbal tersebut. Suami bilang katanya ramuan tersebut aman kok untuk ibu hamil, sudah terdaftar di BPOM juga katanya, kenapa saya ga coba minum saja? Dengan kondisi mental saya yang sedang labil saat itu, saya menangkap omongan suami (yang sebenarnya sama sekali tidak ada unsur memaksa) itu sebagai penyombongan dari suami yang cepat negatif karena mengkonsumsi herbal tersebut, sekaligus menyalahkan saya yang jadi lama negatif hanya karena tidak mau minum herbal tersebut. Lebay sekali memang, tapi mohon dimaklumi bahwa saat itu kondisi mental saya sedang jatuh, dan hati serta otak saya sungguh dipenuhi emosi negatif yang menyebabkan omongan yang biasa saja dari suami di telinga saya berubah menjadi omongan yang menusuk hati. Saat itu saya jadi kesal sekali, seakan-akan keinginan saya untuk menjaga janin di kandungan dari konsumsi bahan-bahan berbahaya adalah keputusan yang salah, dan karena itulah saya jadi lama sembuh dari covid.

Ditambah lagi kesedihan saya karena tidak bisa menghadiri pernikahan adik terakhir saya. Walaupun sebenarnya masa isolasi mandiri saya hanya perlu dilakukan sampai tanggal 17 Januari, tapi saya tidak berani mengambil resiko menularkan virus pada keluarga besar saya sebelum saya yakin bahwa saya sudah negatif. Padahal saya ada sedekat ini tapi tidak bisa hadir dalam salah satu acara terbesar keluarga, rasanya sungguh sedih. Belum lagi melihat anak-anak yang jadinya semakin lama terkurung di rumah, dan tidak bisa bergabung bersama saudara-saudaranya main di hotel dan tempat pernikahan adik saya tersebut. Rasanya hati saya semakin sakit. Walaupun sebenarnya anak-anak tidak pernah mengeluh, tapi saya tahu bahwa mereka merindukan sepupu-sepupunya, dan tentu saja ingin untuk staycation bersama saudara-saudaranya di hotel. Semakin dipikirkan, hati saya semakin sakit, dan membuat saya semakin galau. Saking terpukulnya, seharian itu saya terus menangis setiap anak-anak tidak melihat saya. Bahkan perut saya yang sudah membesar karena usia kandungan yang sudah memasuki bulan ke-7 terasa kencang terus menerus, mungkin kontraksi akibat stres.

Kakak saya sempat menyarankan untuk swab kembali di tengah minggu, karena hasil swab di awal minggu menunjukkan CT value yang sudah cukup tinggi, jadi menurut kakak saya kemungkinan kalau saya swab lagi di tengah minggu sudah akan berubah menjadi negatif. Tapi jujur saya takut, sangat takut. Saya takut jika saya swab lagi dan ternyata hasilnya masih positif, mental saya akan kembali jatuh. Saya khawatir kondisi mental yang kurang baik akan memperburuk imun saya yang bisa berakibat buruk pula untuk kondisi kesehatan saya, dan saya juga khawatir kontraksi rahim akan berlanjut jika saya terus stres. Karenanya saya menolak untuk swab ulang dalam waktu dekat, dan akhirnya memutuskan, ya sudah saya dan suami serta anak-anak tidak akan menghadiri pernikahan adik saya. Sad.

Saya kembali menata hati supaya dijauhkan dari pikiran dan emosi negatif, saya kembali berusaha menikmati hari-hari isolasi saya bersama suami dan anak-anak di rumah. Alhamdulillah kesedihan dan kegalauan saya hanya 1 hari saja, dan hari selanjutnya saya jalani dengan baik-baik saja seperti sebelumnya. Tapi hari Sabtu pagi, papa saya kembali mengungkapkan kesedihannya karena saya tidak bisa menghadiri pernikahan adik saya, dan menyatakan harapannya yang sangat besar supaya saya bisa ikut hadir. Akhirnya, saya yang kondisi mentalnya sudah membaik bersedia untuk melakukan swab lagi secara mandiri. Dan dengan penuh ketegangan, hasil swab saya tersebut menyatakan saya sudah negatif covid-19.

Alhamdulillahi robbil aalamiin..

Setelah mendapat hasil negatif, saya langsung mengabari papa saya yang sudah ada di hotel lokasi pernikahan adik saya, dan saat itu juga papa langsung menyuruh saya untuk datang ke hotel tersebut. Akhirnya saya, suami, dan anak-anak pergi ke hotel tersebut, dan kami pun bisa berkumpul kembali dengan keluarga besar kami. Dan drama covid-19 ini pun akhirnya berakhir juga.

Alhamdulillahi robbil aalamiin..

Komentar

Popular Posts

Garuda di Dada Timnas -> Salah??

Ada yang mempermasalahkan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas Indonesia. Padahal, timnas Indonesia sendiri lagi berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang Piala AFF 2010.  Ini 100% pendapat pribadi aja yah.. Apa sih yang salah dengan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas? Bukannya dengan adanya lambang Garuda di dada itu berarti mereka yang ada di timnas bangga jadi Indonesia dan bangga bisa berlaga di ajang internasional dengan membawa nama Indonesia? Bukannya dengan membawa lambang Garuda di dada itu berarti mereka akan makin semangat untuk main di lapangan hijau karna membawa nama besar Indonesia? Dan itu berarti Bang BePe dan kawan2 itu akan berusaha lebih keras untuk membuat semua warga Indonesia bangga? Pernah liat timnas maen di lapangan hijau? Pernah liat mereka rangkulan sambil nyanyiin lagi wajib INDONESIA RAYA? Pernah merhatiin ga kalo mereka sering mencium lambang Garuda yang ada di dada mereka setiap abis nyanyiin lagu INDONESIA RAYA? Pernah juga ga merha

Makanan Favorit di Setiap Masa "Ngidam"

Setelah bulan lalu saya gagal setoran karena kesulitan mencari waktu untuk menulis di sela-sela perubahan ritme kehidupan selama ramadan, bulan ini saya tidak mau lagi gagal setoran tulisan. Kebetulan tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang makanan favorit.  Sebenarnya kalau ditanya apa makanan favorit saya, jujur bingung sih jawabnya. Karena saya bisa dibilang pemakan segala. Buat saya makanan hanya ada yang enak atau enak banget. Hehe… Jadi kalau disuruh memilih 1 makanan yang paling favorit sepanjang masa, ya susah. Makanya ketika beberapa minggu belakangan ini saya sering terbayang-bayang satu jenis makanan, saya jadi terinspirasi untuk menjadikan ini sebagai tulisan untuk setoran tantangan bulan ini. Iya, saya memang sedang sering ngidam. Ngidam kurang lebih bisa diartikan keinginan dari seorang ibu hamil terhadap sesuatu, umumnya keinginan terhadap makanan. Ngidamnya setiap ibu hamil juga beda-beda, ada yang ngidamnya jarang tapi ada juga yang sering

Mama sang Wonder Woman

Mama adalah segalanya.. Mama adalah Wonder Woman terhebat yang pernah ada di dunia ini.. :) Di keluargaku, dan sepertinya juga hampir sebagian besar keluarga, mama merupakan sosok yang sangat memegang peranan penting dalam urusan rumah. Segala urusan rumah dari mulai cuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, masak, dan sebagainya itu semuanya mama yang urus.. Anggota keluarga yang lain seperti suami dan anak-anaknya mungkin juga ikut membantu, kadang bantu mencuci, bersih-bersih, ato urusan rumah lainnya. Tapi tetap saja kalau dihitung-hitung, pasti porsinya jauh sama yang biasa dikerjakan mama. Belakangan ini aku lebih sering ada di rumah. Dan dengan semakin seringnya ada di rumah, semakin aku mengerti sibuknya mama di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri. Sebagai seorang anak, pastinya sudah jadi kewajiban aku untuk bantu mama dalam mengurus rumah yang juga aku tinggali. Dengan aku sering ikut membantu mama melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, aku jadi tahu bah