Seperti yang sudah tertuang di postingan sebelumnya, saya mengawali tahun 2021 ini dengan isolasi mandiri akibat terpapar covid-19. Untuk saya itu adalah suatu cobaan yang cukup berat. Tapi alhamdulillah saya bisa melewati minggu-minggu sulit tersebut dengan cukup baik bersama dengan suami dan anak-anak, dan semuanya berakhir baik juga karena saya suami dan anak-anak masih sehat walafiat sampai sekarang.
Di tulisan ini saya ingin sedikit membagikan pengalaman batin saya menghadapi cobaan tersebut, bagaimana saya bisa bertahan, dan hal baik apa yang bisa saya ambil dari cobaan tersebut.
Berawal ketika saya mendapat petir di siang bolong berupa hasil swab saya yang menunjukkan hasil positif. Pada detik pertama saya mendapat kabar bahwa saya positif covid-19, jujur
saat itu sama sekali ga ada rasa apapun. Hati ga ngerasa apa-apa, otak ga ada
pikiran gimana-gimana. Sedih? No. Takut? No. Galau? No. Saya hanya bisa ngasih respon "oh gitu. yaaaaa yaudah,
gimana lagi sih kan". Blank. Habis itu saya hanya bisa diam sambil main
HP, scrolling IG dan WA tanpa ada yang benar-benar dibaca karena otak mendadak blank.
Baru deh pas masuk WA dr mama, kakak, adik, yang baru dapat kabar soal hasil
swab saya yang positif, di situ kesadaran baru menghantam saya, air
mata saya keluar, berbarengan dengan semua pikiran negatif. Takut. Panik. "Terus
gimana ini sekarang? Gue gimana? Anak-anak gimana? Bayi di perut gue
gimana?" Lalu saya hanya bisa nangis mojok di dapur supaya ga kelihatan
anak-anak. Sempat muncul pertanyaan manusiawi: "kenapa gue? Padahal
gue udah sebisa mungkin nerapin protokol kesehatan. Gue jaraaang banget
pergi-pergian, kalo ketemu orang selalu pake masker, cuci tangan sehari puluhan
kali, rajin semprot disinfektan di sana sini. Tapi kenapa masih kena? Di luar
sana banyak deh kayanya yang lebih ga peduli sama protkes, tapi kenapa gue yang
kena? Why me? Why? WHY? WHYYYY???"
Tapi lalu saya teringat buku yang baru-baru ini saya baca, bahwa kita harus
bisa membedakan mana hal yang bisa kita kontrol dan mana yang tidak bisa kita
kontrol. Dan untuk hal-hal yang tidak bisa kita kontrol tersebut, sama sekali
tidak ada gunanya kalau kita misuh-misuh untuk hal-hal tersebut, karena tidak
akan mengubah keadaan, sedikitpun. Fokus saja ke hal-hal yang bisa kita
kontrol. Dan saya pikir, kondisi sampai saya bisa tertular virus covid ini
adalah hal yang tidak bisa saya kontrol, yang artinya tidak ada gunanya kalau
saya terlalu lama meratapinya. Saya memang bisa mengontrol diri saya untuk selalu
menjaga protokol kesehatan, tapi kalau ternyata pada akhirnya saya tetap tertular virus yang ukurannya hanya 0,1 mikrometer entah dari
mana, ya itu sudah di luar kontrol dan kuasa saya. Jadi yang perlu saya lakukan
sekarang adalah fokus kepada apa yang harus saya lakukan supaya keadaan yang kelihatannya sudah buruk ini tidak bertambah buruk. Mengingat hal itu saya lalu inhale exhale berkali-kali
sampai tenang, air mata berhenti, dan otak bisa dipakai berpikir rasional.
Saya
berusaha untuk membuang semua pikiran negatif yang muncul. Everything
happens for a reason, pepatah bilang seperti itu kan, jadi sekarang
waktunya saya untuk "menggali" apa makna di balik kejadian ini. Allah
sudah memilih saya untuk mendapatkan cobaan ini, pasti ada maksud di baliknya,
dan tugas saya sekarang untuk mencari apa maksud Allah itu. Mungkin saja saya
akan naik kelas, dan ini ujian yang Allah berikan supaya saya jadi orang yang
lebih dari sebelumnya dan pantas untuk naik kelas.
Salah
satu pemikiran yang saya buang jauh-jauh adalah, dari siapa saya tertular virus
ini. Banyak sih yang nanya, "kira-kira dari mana ketularannya, cha?"
Jujur, saya ga tahu. Sebagai bagian dari proses tracking karena
saya dan suami terkonfirmasi positif, kami hubungi orang-orang yang sempat
kontak dengan kami selama 2 minggu terakhir, dan meminta mereka untuk tes swab
juga. Tapi ternyata semua hasilnya negatif. Jadi saya tarik kesimpulan bahwa ya
ini sih Allah saja yang mau ngasih, sudah bagian dari qodar yang harus saya
jalani. Lagipula kalau saya tahu siapa yang menularkan virusnya, lalu apa? Apa
saya mau marah-marah sama orang tersebut, menyalahkan mereka karena sampai
menularkan virusnya? Lalu kalau saya marah dan menyalahkan orang tersebut, apa
virusnya akan langsung hilang dari badan saya dan saya langsung sembuh? Kan gak begitu.. Marah dan menyalahkan orang lain gak akan mengubah keadaan sedikitpun,
yang ada malah "cape hati" karena merasa kesal terus sama orang lain.
Kembali lagi, kan ini termasuk hal yang tidak bisa kita kontrol, jadi
misuh-misuh hanya akan buang-buang energi percuma. Betul? Apalagi semua orang
juga tahu covid ini bisa dilawannya dengan daya tahan tubuh yang baik, dan
dengan pikiran yang positif. Jadi ga perlu ya buang-buang energi positif untuk
marah-marah ke orang yang ga jelas siapa.
Kebetulan
sejak beberapa minggu sebelum dapat cobaan ini, saya baru mulai mencoba
merutinkan menulis "jurnal syukur". Tiap pagi saya menulis di buku
khusus tentang hal-hal yang saya syukuri dari hari sebelumnya, bahkan sampai ke
hal-hal kecil. Dan ternyata, kebiasaan yang baru saya jalani beberapa minggu
itu sangaaaaattt membantu saya untuk bisa lebih lapang melewati masa-masa
isolasi. Ternyata bersyukur itu sangat bikin hati tenang loh. Karna ternyata
tetap ada banyaaaaaakkkk sekali hal yang bisa disyukuri, bahkan dalam kondisi
berat sekalipun. Banyak sekali hal kecil yang sebenarnya sangat bisa disyukuri, tapi kita seringkali lupa.
Begitu ingat bahwa ternyata masih banyak hal yang bisa
disyukuri, hal yang sebelumnya kita rasa berat jadi tidak terasa seberat itu
sih. Misal, yang biasanya saya sering dibuat pusing dengar dan lihat anak-anak
main sambil teriak-teriak dan berlarian di rumah (yang ukurannya
"segitu-gitunya"), sekarang saya jadi bisa sangat mensyukuri aktifnya
mereka karena artinya anak-anak sehat. Atau ketika saya sempat agak down saat tiba-tiba kehilangan indera penciuman, saya berusaha mencari celah untuk tetap bersyukur dengan berpikir bahwa bolehlah hidung saya saat itu tidak bisa mencium bau, tapi hidung saya tetap bisa berfungsi normal untuk bernapas tanpa ada kesulitan apapun. Dan hal-hal kecil lainnya yang
sebenarnya luar biasa banyak, yang terkadang lupa untuk kita syukuri.
Lalu
dengan saya dan suami terkonfirmasi positif, keluarga dan orang-orang terdekat
memberikan support yang luar biasa besar. Walau gak bertemu secara langsung,
tapi bantuan datang tanpa henti. Supply makanan luar biasa banyak kami terima,
sampai saya disuruh berhenti masak dulu dan dipesankan catering supaya saya
fokus saja pada penyembuhan. Supply vitamin juga, mulai dari vitamin biasa
sampai yang luar biasa (dari segi harga menurut saya) juga dikirim. Aneka
camilan pun dikirim supaya kami yang isolasi mandiri tetap happy.
Sampai saking banyaknya kurir atau driver gojek/grab yang mengirim aneka kebutuhan kami, anak-anak berkomentar "sekarang banyak banget ya paket yang datang
ke rumah kita". Hehe.. Alhamdulillah, bantuan materi kami rasakan sangat
besar, membuat kami kewalahan syukur. Tapi yang lebih saya syukuri adalah betapa ternyata saya dikelilingi
oleh orang-orang yang luar biasa baik dan tulus menyayangi saya dan keluarga
kecil saya. š„°
Tidak hanya dari keluarga, perhatian kecil dari teman maupun tetangga pun terasa sangat menghangatkan hati. WA dari teman dan tetangga yang sekedar menanyakan kabar, bahkan hingga menawarkan untuk mengirimkan bantuan untuk kebutuhan isolasi kami, itu pun menjadi hal yang sangat kami syukuri. Secara materi memang tidak terasa (karena pada akhirnya teman/tetangga tidak ada yang mengirimkan apapun karena kebutuhan harian kami sudah dipenuhi oleh keluarga kami), tapi perhatian yang tulus dari teman dan tetangga yang "hanya" berupa sebentuk tulisan di WA seperti "apa nih yang perlu dibantu, nanti dikirimin" itu sungguh terasa menenangkan dan menyenangkan. Dan lagi-lagi mensyukuri hal tersebut membuat hati semakin terasa ringan.
Always look on the bright side. Itu jadi salah satu kunci juga supaya hati terasa ringan menjalani hari-hari yang cukup berat. Memang praktiknya gak semudah mengucapkannya sih ya.. Kadang manusia memang masih lebih mudah melihat sisi negatif dibandingkan mencari sisi positif. Kenapa? Karena saat kita berada dalam cobaan, yang jelas terlihat dan terasa ya sisi negatifnya, sisi yang gak enaknya. Sementara untuk mendapatkan sisi positif dari cobaan tersebut harus ada usaha lebih untuk mencarinya. Kalau malas untuk mencari sisi positif ya gak akan ketemu sih, jadi yang akan terlihat hanya sisi negatifnya saja, yang akhirnya membuat kita semakin bersedih dan merasa berat dengan keadaan. Yang saya lakukan adalah mencoba melihat kondisi dari sisi yang berbeda. Misalnya, kami yang melakukan isolasi mandiri kan berarti benar-benar tidak keluar rumah sama sekali, bahkan walau hanya ke jalan depan rumah sekalipun. Kalau mau dilihat sisi negatifnya, memang rasanya "sumpek" sekali hanya bisa di dalam rumah, bahkan berjalan-jalan di sekitar rumah pun gak bisa. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, bisa kok ditemukan sisi positifnya, seperti saya bersama suami dan anak-anak jadi punya quality time yang jauh lebih banyak daripada biasanya, banyak yang bisa kami lakukan bersama-sama, juga banyak hal yang bisa kami obrolin. Kami bisa membangun kedekatan yang jauh lebih baik lagi dengan kami diisolasi bersama-sama.
Komentar
Posting Komentar