Setiap orang sepertinya pasti pernah merasakan traveling. Tidak perlu jauh-jauh ke Cappadocia kok, dari rumah ke kebun binatang dalam kota saja itu sudah termasuk traveling kan. Menurut saya traveling itu bepergian ke suatu tempat yang bisa memberi suasana baru. Jadi rasanya setiap orang pasti pernah bepergian karena sepertinya tidak ada orang yang tidak butuh mendapatkan suasana baru dengan cara rekreasi.
Dari setiap perjalanan, kadang ada saja cerita menarik yang membuat perjalanan tersebut mengesankan. Tapi yang membuat berkesan itu tidak selalu harus kejadian menyenangkan loh. Kadang justru kejadian kurang enak malah bikin perjalanan jadi tidak terlupakan. Dan adanya kejadian kurang menyenangkan itu bisa jadi pelajaran untuk traveling selanjutnya supaya jangan sampai terulang lagi kejadian yang sama. Dan kali ini, sesuai dengan tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari, saya akan menceritakan pengalaman traveling yang justru jadi berkesan karena adanya beberapa kejadian kurang menyenangkan.
Perjalanan Traumatis
Saya suka pantai. Mendengarkan suara deburan ombak, merasakan hembusan angin pantai, dan menikmati kehangatan pasir, rasanya dunia damai sekali. Makanya ketika saya masih bekerja pada tahun 2014 dan mendapatkan tugas menangani suatu pekerjaan yang berlokasi di Pangandaran, saya cukup excited karena itu artinya saya akan mendapat kesempatan untuk main ke pantai. Walaupun pergi untuk urusan pekerjaan, dalam perjalanan dinas bisa kok ada waktu yang dialokasikan untuk rekreasi. Minimal di malam hari. Saat perjalanan dinas pertama saya ke Pangandaran juga begitu, saya menyempatkan untuk main ke pantai sebentar.
Namun ternyata, pekerjaan tersebut mengharuskan saya sering sekali bolak-balik ke Pangandaran. Minimal sebulan sekali saya melakukan perjalanan Bandung-Pangandaran dengan mobil. Bahkan, pernah dalam sebulan saya harus bolak balik setiap minggu ke Pangandaran. Perjalanan Bandung-Pangandaran selama sekitar 7 jam dengan jalan yang berkelok-kelok bagi saya yang mudah mabuk darat termasuk cukup berat. Apalagi saat itu saya sedang hamil muda. Excitement yang muncul di awal tentu lama kelamaan lenyap ditelan gelapnya area hutan di sekitar Ciamis. Sudah tidak ada lagi rasa senang, yang ada hanya rasa mual membayangkan jalan berkelok menuju Pangandaran.
Saking muaknya dengan perjalanan ke Pangandaran, saat itu saya sampai merasa traumatis dengan Pangandaran. Ketika proyek selesai saya sempat sesumbar tidak akan pernah mau ke Pangandaran lagi. Tapi beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2018 ada acara keluarga ke Pangandaran. Walaupun sempat mengalami pergolakan batin untuk ikut atau tidak, akhirnya saya memutuskan ikut dengan berat hati. Untungnya, perjalanan tersebut berjalan cukup menyenangkan sehingga trauma saya bisa terlupakan. Tapi tetap saja sih, sampai sekarang saya masih tidak suka perjalanan dengan track yang berkelok-kelok. Menulis sambil membayangkannya saja saya jadi mual nih. Hahaha…
Lesson learned: segala yang berlebihan itu nggak baik. Termasuk traveling, kalau terlalu sering diulang juga sudah hilang rasa excited-nya. Malah jadinya muak kan? Hehe..
Kehilangan Kursi Pesawat
Tahun 2011 saya pernah menemani kakak saya yang akan pindah ikut suaminya ke Australia. Setelah sekitar 2 bulan menemani dan membantu kakak saya di kota barunya, saya pulang kembali ke Indonesia sendirian. Dan itu adalah pengalaman pertama saya traveling di luar negeri seorang diri. Saat itu tiket dibeli oleh kakak ipar saya, saya hanya terima kertas tiket saja dan tinggal check-in di bandara. Rute yang saya lakukan sendirian adalah Middlemount - Brisbane - Singapura - Bandung, tapi insiden terjadi saat perjalanan Singapura - Bandung.
Karena tidak pernah melakukan transit antar negara sebelumnya dengan durasi transit yang panjang, saya kurang paham tata cara transit maskapai tersebut. Dan salahnya saya juga tidak bertanya. Jadi ketika saya mendarat di Singapura sekitar jam 5.30 pagi, saya langsung keluar bandara untuk berjalan-jalan di Singapura sambil menunggu jadwal penerbangan ke Bandung pukul 15.30. Padahal sepertinya harusnya saya lapor dulu ke check-in counter untuk flight Singapura-Bandung. Tapi karena saya tidak paham, saya tidak lapor dan malah asyik berjalan-jalan di Singapura.
Alhasil, ketika saya kembali ke bandara sekitar pukul 13.00 setelah berkeliling Singapura, petugas dicheck-in counter bilang bahwa seat untuk flight ke Bandung penuh, dan tidak ada nama saya di sana. Shock dong saya, karena di tangan saya ada loh tiket untuk flight ke Bandung, tapi saya nggak dapat seat di pesawat. Saya lalu meminta petugas itu mengurus "hilangnya" seat saya tersebut, sementara papa saya di Bandung dan kakak ipar saya di Australia ikut sibuk menelepon saya dan maskapai.
Singkat cerita, akhirnya saya tetap tidak dapat seat di penerbangan ke Bandung pukul 15.30, tapi maskapai bertanggung jawab dan memberikan saya seat untuk flight ke Jakarta pukul 17.20. Selain me-reschedule flight saya, pihak maskapai memberikan ganti rugi berupa uang, voucher Starbucks, dan mengurus secara penuh perjalanan darat Jakarta-Bandung yang seharusnya tidak ada. Padahal sebenarnya tidak sepenuhnya salah maskapai, ada andil kesalahan saya juga yang tidak check-in terlebih dahulu. Lalu saat saya mendarat di Bandara Soekarno Hatta, itu pertama kalinya juga saya disambut seseorang dari pihak maskapai yang menunggu di pintu keluar dengan membawa papan nama bertuliskan "Ms. Nessia". Berasa tamu dari manaaa gitu sampai dijemput pakai papan nama begitu. Hehe..
Lesson learned: pelajari tata cara check-in dan transit dalam setiap perjalanan. Jangan sampai lupa check-in, karena ternyata walau tiket sudah di tangan, belum tentu bisa dapat seat. Pelajaran kedua, pilih maskapai yang bagus! Maskapai sekelas Singapore Airlines ternyata memang pelayanannya memuaskan. Walau ada insiden, ganti ruginya nggak nanggung-nanggung, dan diurus sampai masalah benar-benar clear. Kalau maskapai lokal, nggak yakin pelayanannya akan seperti ini sih. Hehe..
Oh iya kalau mau tahu cerita lengkap dari kejadian ini, dulu pernah saya ceritakan di sini.
Anak Hilang
Pasti tahu kan kisah Kevin McCallister yang terpisah dari keluarganya akibat kehebohan perjalanan dalam rombongan besar? Cerita yang mirip pernah dialami keluarga besar saya. Saat itu akhir tahun 2019, keluarga besar saya melakukan liburan ke Bali, termasuk kakak saya dan keluarganya yang tinggal di Perth. Total rombongan kami ada 18 orang, terdiri dari 2 lansia, 6 dewasa dan 10 anak-anak. Kakak saya yang tinggal di Perth adalah yang memiliki anak kecil paling banyak yaitu 5 anak (usia bervariasi antara 0-9 tahun). Terbayang kan repotnya.
Suatu siang kami berniat makan siang di mall dekat hotel. Karena tinggal menyeberang jalan, jadi kami berjalan kaki ke mall tersebut. Dengan jumlah anak yang banyak, menyeberang jalan saja sudah menjadi kehebohan tersendiri. Sampailah kami di salah satu restoran, dan kami pun dengan santai memesan makanan. Tiba-tiba papa saya (sebagai kepala rombongan) mendapat telepon dari hotel yang mengabarkan bahwa salah satu anak kecil di rombongan kami menangis di lobi hotel. Sambil masih memegang HP, papa saya dengan agak bingung bicara kepada kami semua, "ini katanya ada anak kecil yang ketinggalan di hotel, siapa ya?" Beberapa detik kami diam dan menyapu pandangan ke rombongan mengingat-ingat siapa yang tidak ada, dan tiba-tiba kakak saya berteriak "astaghfirullah, Zayn!" Ternyata anak keempatnya yang berumur 4 tahunlah yang terlupakan. Langsung kakak ipar saya kembali ke hotel menjemput anaknya yang sudah lama nangis kebingungan mencari keluarganya yang hilang.
Sampai sekarang kejadian itu masih sangat membekas. Kami tidak habis pikir bagaimana bisa kami melupakan Zayn dan meninggalkannya di hotel. Kami masih bersyukur dia tertinggal di hotel dan kehebohan keluarga kami membuat pihak hotel ingat bahwa Zayn adalah anggota rombongan kami. Coba kalau ketinggalannya di pantai? Wah repot nyarinya kan, bisa-bisa ceritanya jadi benar-benar seperti kisah Kevin McCallister.
Lesson learned: ketika bepergian dengan rombongan besar, setiap akan moving dari satu tempat, biasakan berhitung dulu untuk memastikan semua anggota lengkap. Kalau perlu setiap orang diberi seragam dengan nomor punggung sehingga saat berhitung akan langsung ketahuan siapa yang tidak ada. Hehe..
Duh, semoga pandemi segera berlalu ya, saya rindu sekali pada keluarga kakak saya di Perth. Perjalanan ke Bali itu adalah liburan terakhir kami sebelum covid menyerang dunia :(
Waduhh, alhamdulillah tidak apa-apa ya Teh Echa. Zayn tetap aman di kamar hotel. Ikut deg-degan membayangkannya. Dan ya, kok bisa persis dengan cerita dil film "Home Alone" sih wkwkwkwk.
BalasHapusWaktu itu saja Kevin sudah dihitung, tetapi ternyata tetap ketinggalan, wkwkwk. Sepertinya menghitung saja tidak cukup, harus sambil dilihat wajahnya ya ehehe.
Semoga pandemi segera teratasi ya dan Mamah Echa bisa bertemu dengan kakak tercinta di Perth. :)
Sebenarnya bukan di kamar hotel teh, tp di lobi nangis2nya. Kalau di dalam kamar malah mungkin ga ketauan karna tertutup. Hehe..
HapusAamiin,, semoga setelah omicron ini udah ga ada varian2 lain yg harus diwaspadai yaa jd bs tenang lg mau bepergian.
Bener sih teh, tentang ngitungin anggota yang ikut travelling saat pergi berkelompok. karena kalau ada yang ketinggalan malah makin repot. mana di daerah yang kita gak familiar pulak.
BalasHapusIya, apalagi anak2 kan, pasti lebih kesulitan bicara untuk minta tolong atau sebagainya.
HapusWah Singapore Airlines memang terbaik ya Echa, padahal seperti yang dibilang Echa bukan salah maskapai. Tapi aku juga suka banget Singapore Airlines ni, mulai dari ground service, pesawat, pramugari, makanan, semuanya oke banget. Alhamdulliah Echa bisa pulang ke Bandung dengan selamat.
BalasHapusEpisode anak hilang ni deg-degan ya, tapi kebayang memang repot banget kalau banyakan gitu. Aku juga pernah ketinggalan teman satu di hotel, karena dia ketiduran dan kita ga ada yang nyadar, ditinggal begitu saja :)
Iya teh, saya jg jadi kagum sama pelayanan dari Singapore Airlines, lalu secara nggak sadar membandingkan dengan maskapai lokal 🙈ðŸ¤
HapusRombongan besar memang harus dihitung sih yaa,, apalagi kalau banyak anak-anaknya, lebih bahaya kan kalau sampai hilang.
Traveling dengan 10 anak-anak kebayang hebohnya. Untung nggak sampai separah kejadian Home Alone ya. Tapi ternyata itu memang bukan hal yang nggak mungkin terjadi. Makasih sharingnya Cha.
BalasHapusmenarik nih semua kisah yang katanya ada bagian tidak enaknya ternyata selalu ada pelajarannya. bisa buat pelajaran buat pembaca ketika merencanakan jalan2
BalasHapusaku ga bisa bayangkan rombongan besar begitu,.tapi pasti seru juga ya
Wah relate nih yang bagian anak hilang 😆 waktu itu ke mall, sama kaya echa rombongan besar ake nenek dan para anak cucu. Udah santai aja kita turun ke lt. Dasar da mikirnya ini pd bareng bareng kan. Taunya ada satu bocah ketinggalan di lt3. Alhamdulillah ada spg yg nolongin bawa ke satpam, anaknya jg ga malu dan inget pas ditanya nama ibu dan rumahnya dimana.. Degdegan parah
BalasHapusSetiap kejadian ada hikmahnya ya teh, seru banget kisah-kisah perjalanannya. Salam kenal 🤗
BalasHapus