Langsung ke konten utama

Bukan Mahasiswa ITB

"Duuuhh, macet banget nggak maju-maju. Aku turun di sini aja deh. Kalau mobilnya sudah bisa jalan mamah papah nanti turun di bawah aja dekat pintu masuk ya, mas. Aku harus buru-buru, wisudawan harus cepat masuk ruangan nih", Lea buru-buru merapikan barangnya lalu turun dari mobil. 

"Kelamaan itu dia dandannya tadi, jadi telat kan", seperti biasa papah mencari alasan untuk ngomel kalau sudah terjebak macet begini. 

"Biarin dong pah, ini kan memang hari spesial Lea. Wajar kalau dia ke salon pengen terlihat cantik", timpal mamah membela Lea. 

Aku diam mendengarkan obrolan papah dan mamah sambil berusaha fokus menyetir mobil. Padahal susah untuk aku bisa fokus menyetir sementara aku melihat banyak sekali orang hilir mudik memakai toga berwarna biru tua kehijauan. Di kejauhan juga aku melihat megahnya Gedung Sabuga. Rasanya sesak sekali melihat itu semua. 

"Kamu nungguin di sini, Dik? Atau mau pergi dulu ke mana?" papah bertanya ketika akhirnya mobil sampai di pintu masuk gedung Sabuga.

"Nunggu di sini aja, kalau pergi nanti susah lagi masuknya, penuh banget ini. Aku cari parkir ya pah, nanti telepon saja kalau sudah beres acaranya", aku menjawab dan papah pun menutup pintu mobil. 

Aku melajukan mobil perlahan. Setelah berhasil parkir di tempat yang cukup jauh dari pintu masuk gedung Sabuga, aku mematikan mesin dan menyandarkan tubuhku ke kursi. Sesak ini masih terasa, mungkin tidak bisa hilang selama aku masih ada di lingkungan ini. Aku melihat sekeliling, tidak ada lagi yang berkeliaran memakai toga, mungkin acara sudah dimulai dan semua wisudawan sudah masuk ke dalam gedung. Aku hanya melihat banyak mahasiswa yang mondar-mandir dengan menggunakan jaket tebal, warna-warni. Aku tahu mereka pasti panitia acara wisuda dari berbagai himpunan jurusan di ITB, bersiap mengarak wisudawan dari Sabuga menuju kampus.

Aku ingat beberapa tahun lalu, aku pernah diajak Bang Arya, tetangga yang sangat dekat denganku untuk melihat acara wisuda ITB. Saat itu aku kelas 3 SMA, sementara Bang Arya jadi panitia wisuda di himpunannya. Sebenarnya aku sih yang memaksa ikut karena penasaran dengan cerita Bang Arya tentang wisuda ITB yang katanya seru. Untungnya Bang Arya baik sekali membolehkan aku mengikutinya seharian jadi panitia wisuda. 

Kesan saat aku melihat acara wisuda yang dilakukan himpunan: seru banget! Setelah acara formal sidang terbuka di Gedung Sabuga, panitia wisuda dari himpunan menjemput wisudawan untuk dibawa ke Saraga (Sarana Olahraga Ganesha). Di Saraga semua wisudawan berkumpul sesuai jurusannya di track atletik. Kemudian satu persatu rombongan akan masuk ke tunnel yang menghubungkan Saraga dengan kampus ITB. Saat masuk ke tunnel aku sempat terpana karena baru tahu ITB punya terowongan bawah tanah, keren! Di terowongan bawah tanah itu semua rombongan wisudawan berlomba-lomba meneriakkan yel-yel himpunan masing-masing, benar-benar meriah sekali.

Setelah keluar dari tunnel dan muncul di area kampus (kata Bang Arya namanya Sunken Court), rombongan lalu diarak berkeliling area kampus sambil terus menyanyikan yel-yel himpunan masing-masing. Pawai lalu berakhir di gedung jurusan masing-masing dan dilaksanakan acara lanjutan yang berbeda setiap jurusannya. Aku melihat ada jurusan yang kalem yang mengakhiri acara di jurusan dengan potong tumpeng, tapi ada juga jurusan lain yang mengakhiri prosesi wisuda dengan perang air. Seru! 

Huh, ingatan itu malah membuat dadaku semakin sesak oleh campuran rasa sedih, kecewa, malu, dan bersalah. Aku menghela napas berat lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju tukang batagor. Mamah tadi tidak sempat menyiapkan sarapan, jadi perutku keroncongan.

Selesai makan aku membeli sebuket kecil bunga untuk kuberikan pada adikku tersayang. Yah, walaupun suasana hatiku buruk, aku tetap tidak boleh merusak hari bahagianya kan? Aku tetap ikut bahagia melihat keberhasilannya, walaupun di hati kecilku jujur saja terselip kecemburuan kepada adikku sekaligus rasa malu pada diri sendiri. Aku lalu kembali ke mobil dan membuka laptop yang kusimpan di kursi belakang lalu tenggelam di dalamnya.

Beberapa waktu setelahnya aku merasa suasana di luar mobil mulai ramai kembali, sepertinya sidang terbuka sudah selesai. Aku menutup laptop lalu keluar mobil dan masuk ke gedung Sabuga mencari mamah dan papah serta adikku di antara lautan manusia yang terdiri dari wisudawan, orang tua dan teman-teman wisudawan, sampai panitia wisuda. Setelah berkeliling, aku melihat mamah, papah, dan Lea yang ternyata sudah memegang beberapa kuntum bunga mawar. Aku tersenyum sambil mendekati mereka. 

"Happy graduation, Dek", Aku tersenyum lebar sambil menyerahkan buket bunga ke depan wajahnya. 

"Waaa.. Makasih, Mas!" Lea langsung memelukku sebentar. "Pake beliin bunga segala sih."

"Kasian yang jual bunganya maksa nyuruh aku beli. Haha.."

"Yah nggak ikhlas dong. Haha.. Eh iya mamah papah sama Mas Dika mau langsung pulang aja? Aku mungkin arak-arakannya lama sih." Lea bertanya. 

"Iya mamah papah pulang aja sama Dika. Nanti sore kalau mau pulang telepon Dika aja biar dijemput ya?" mamah menjawab. 

"Gampang mah, pulang sendiri juga kan bisa."

"Kalau gitu kita pulang ya? Kamu hati-hati nggak usah terlalu heboh nanti perang airnya."

"Hehe.. Iya mah.. Ya sudah aku ke sana ya sama panitia wisuda himpunanku? Bye mah, pah, mas.."

Baru beberapa langkah aku berjalan menjauh, Lea memanggil namaku lagi.

"Mas! Aku lupa ini ada satu buat Mas Dika", Lea memberi sekuntum bunga mawar sambil tersenyum lebar. " Tetap semangat ya mas beresin skripsinya, biar cepat wisuda juga kaya aku. Oke, mas?

"Insya Allah. Makasih, Dek" Aku tersenyum tipis sambil menerima bunga dari tangannya. Lea pun berbalik dan setengah berlari menuju teman-temannya. Aku sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyusul mamah dan papah ke mobil. 

"Itu bunga dari Lea?" Mamah bertanya begitu masuk ke mobil.

"Iya, Mah. Biar aku semangat ngerjain skripsi katanya," aku menjawab pelan. 

"Kamu tuh nggak cocok sama jurusanmu sekarang, Dik?" Akhirnya papah memulai topik yang sering kuhindari. Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab. 

"Kalau jurusannya Dika suka, pah. Cuma...."

"Kampusnya?"

"Iya," aku menjawab lirih. 

"Dik, kan dulu pas kamu gagal kedua kalinya ikut SPMB papah sudah bilang, papah sama sekali nggak mempermasalahkan kamu kuliah di mana. Buat papah nama kampus nggak sepenting itu kok."

"Tapi kan papah mamah lulusan ITB, pasti papah sama mamah malu kalau anaknya nggak masuk ITB," aku merasa ada beban di dadaku saat mengatakan ini. 

"Malu? Buat apa malu? Nggak pernah sedikitpun papah ngerasa malu, Dik. Sama sekali nggak pernah."

"Dika, mamah lihat banget perjuangan kamu dulu seperti apa untuk ikut SPMB. Di SMA kamu serius nyiapin diri untuk ikut SPMB, mamah tahu itu. Makanya ketika ternyata kamu nggak lulus SPMB, mamah ga kecewa karena mamah tahu kamu sudah berusaha. Mamah ingat sekali lihat kamu tengah malam masih belajar untuk persiapan SPMB. Di SPMB yang kedua pun mamah tahu kamu sudah belajar mati-matian. Dan melihat perjuangan kamu itu sudah bikin mamah bangga," mamah ikut menimpali. 

"Tapi tetap saja kan mah, Dika nggak keterima di negeri padahal sudah 2 kali ikut SPMB," aku menjawab dengan sedih. 

"Terus memang kenapa kalau kamu nggak kuliah di negeri? Apa yang kuliah di swasta sudah pasti lebih buruk daripada yang kuliah di negeri? Nggak, sama sekali nggak jaminan," jawab mamah. 

"Yang buat papah bangga tuh bukan ITB-nya, Dik. Papah sejak dulu nggak pernah menuntut anak-anak papah harus masuk ITB kok."

"Tapi Dika lihat kayaknya papah sama mamah bangga sekali sama Lea karena bisa lulus dari ITB," ada kecemburuan saat aku mengucap kalimat barusan. 

"Dika, orangtua mana yang nggak bangga lihat anaknya wisuda? Semua orangtua juga pasti bangga dan senang. Tapi bukan karena Lea lulus dari ITB. Kalau kamu yang wisuda pun papah pasti bangga sekali walaupun  kamu bukan dari ITB."

"Mamah sudah bangga sekali sama Dika yang sekarang, nak. Dika yang sejak kecil nggak pernah sulit disuruh belajar. Dika yang sering bawa pulang nilai bagus. Dika yang selalu semangat ikut lomba cerdas cermat. Dika yang selalu dipuji guru karena aktif di kelas. Dika yang sudah berusaha siang malam untuk SPMB. Mamah bangga sama semua itu. Jadi Dika yang nggak keterima di ITB nggak bikin mamah kecewa sama sekali. Karena mamah tahu meski nggak lolos ke ITB, Dika tetap anak cerdas yang punya semangat tinggi dan bertanggung jawab sama hidupnya. Itu yang paling penting."

"Urusan lulus SPMB itu sudah di luar kuasa kamu, Dik. Kamu sudah berusaha, papah tahu itu. Dan kalau ternyata nggak keterima di ITB, itu bukan salah kamu. Ada ribuan orang yang mendaftar di ITB, tapi hanya sedikit kan yang diterima? Itu semua takdir Allah, Dik. Dan papah nggak kecewa sama takdir Allah yang ini. Selain karena papah nggak pernah menuntut anak papah harus masuk ITB, papah juga melihat sendiri gimana perjuangan kamu menjelang SPMB. Papah tahu itu sudah maksimal."

"Lalu sekarang kamu disusul adikmu wisuda duluan, apa kamu pikir mamah malu sama kamu? Nggak. Bahkan Lea saja tetap nyemangatin kamu kan? Kamu jangan terbebani sama pikiranmu sendiri bahwa kamu bikin malu keluarga. Nggak ada yang kecewa sama kamu, Dik."

"Kamu tetap anak laki-laki kebanggan papah, Dik. ITB atau bukan, nggak ada pengaruhnya. Papah selalu bangga sama kamu. Tinggal selangkah lagi beresin skripsimu, dan papah akan semakin bangga sama kamu."

Aku tidak tahu harus menjawab apa, namun hatiku hangat mendengar kalimat papah dan mamah. Aku berjanji dalam hati untuk segera merampungkan skripsiku dengan rasa bangga. Skripsi yang sudah kukerjakan lebih dari setahun dan mandeg karena aku terlalu overthinking. Saat ini aku memang bukan mahasiswa ITB, tapi siapa tahu aku bisa S2 di ITB kan?
 

Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog  




Komentar

  1. Mamah papahnya bijaksana banget ya. Ikut menghangat deh hati ini ketika baca tanggapan mereka. Semangat, Mas Dika. :)

    BalasHapus
  2. Echaaa, ceritanya unik dan baguus. Dan, ya ampun, saya sepemikiran dengan teh Diah.

    Alhamdulillah kedua orangtua Dika dan Lea sebijaksana itu. Jenis orangtua yang persis dengan yang diusung oleh Bapak Ki Hajar Dewantoro. :)

    Pastinya Dika tidak perlu khawatir dan overthinking lagi ya, terutama setelah berbincang intens dengan Mamah Papah. Selamat meraih cita-cita ya Mas Dika. Cumungudhhh

    BalasHapus
  3. Teh Echa bagus banget, pengingat untuk saya sebagai orang tua, biar bisa asik kaya orang tuanya Dika dan Lea.

    Semoga cepat wisuda ya Mas Dika.

    BalasHapus
  4. Suka banget ceritanya Echa. Ngerasa related deh karena banyak teman-teman yang ngalamin kaya gini. Bener ya, jadi orang tua itu harus bisa membesarkan hati anak.

    BalasHapus
  5. Bener.. ga mesti ITB. Selama ini sy banyak bekerja tim dengan tmn2 dari luar ITB, dan mereka hebat2 kok.

    Semangat Mas Dika! :)

    BalasHapus
  6. Ini cerpen pengingat
    Mamah Papah gajah (dan temennya mamah papah gajah) ga boleh memaksakan kehendak ke anaknya ya hihihi...

    BalasHapus
  7. Ini Mas Dika kuliahnya apa sih? Kuliah di swasta disalip adiknya, apakah kuliahnya kedokteran? Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di swasta disalip adiknya kak, kan ada di salah satu percakapan Dika bilang ga keterima di negeri setelah 2x SPMB 😁

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts

Garuda di Dada Timnas -> Salah??

Ada yang mempermasalahkan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas Indonesia. Padahal, timnas Indonesia sendiri lagi berjuang mengharumkan nama Indonesia di ajang Piala AFF 2010.  Ini 100% pendapat pribadi aja yah.. Apa sih yang salah dengan penggunaan lambang Garuda di kaos timnas? Bukannya dengan adanya lambang Garuda di dada itu berarti mereka yang ada di timnas bangga jadi Indonesia dan bangga bisa berlaga di ajang internasional dengan membawa nama Indonesia? Bukannya dengan membawa lambang Garuda di dada itu berarti mereka akan makin semangat untuk main di lapangan hijau karna membawa nama besar Indonesia? Dan itu berarti Bang BePe dan kawan2 itu akan berusaha lebih keras untuk membuat semua warga Indonesia bangga? Pernah liat timnas maen di lapangan hijau? Pernah liat mereka rangkulan sambil nyanyiin lagi wajib INDONESIA RAYA? Pernah merhatiin ga kalo mereka sering mencium lambang Garuda yang ada di dada mereka setiap abis nyanyiin lagu INDONESIA RAYA? Pernah juga ga merha

Makanan Favorit di Setiap Masa "Ngidam"

Setelah bulan lalu saya gagal setoran karena kesulitan mencari waktu untuk menulis di sela-sela perubahan ritme kehidupan selama ramadan, bulan ini saya tidak mau lagi gagal setoran tulisan. Kebetulan tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang makanan favorit.  Sebenarnya kalau ditanya apa makanan favorit saya, jujur bingung sih jawabnya. Karena saya bisa dibilang pemakan segala. Buat saya makanan hanya ada yang enak atau enak banget. Hehe… Jadi kalau disuruh memilih 1 makanan yang paling favorit sepanjang masa, ya susah. Makanya ketika beberapa minggu belakangan ini saya sering terbayang-bayang satu jenis makanan, saya jadi terinspirasi untuk menjadikan ini sebagai tulisan untuk setoran tantangan bulan ini. Iya, saya memang sedang sering ngidam. Ngidam kurang lebih bisa diartikan keinginan dari seorang ibu hamil terhadap sesuatu, umumnya keinginan terhadap makanan. Ngidamnya setiap ibu hamil juga beda-beda, ada yang ngidamnya jarang tapi ada juga yang sering

Mama sang Wonder Woman

Mama adalah segalanya.. Mama adalah Wonder Woman terhebat yang pernah ada di dunia ini.. :) Di keluargaku, dan sepertinya juga hampir sebagian besar keluarga, mama merupakan sosok yang sangat memegang peranan penting dalam urusan rumah. Segala urusan rumah dari mulai cuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah, masak, dan sebagainya itu semuanya mama yang urus.. Anggota keluarga yang lain seperti suami dan anak-anaknya mungkin juga ikut membantu, kadang bantu mencuci, bersih-bersih, ato urusan rumah lainnya. Tapi tetap saja kalau dihitung-hitung, pasti porsinya jauh sama yang biasa dikerjakan mama. Belakangan ini aku lebih sering ada di rumah. Dan dengan semakin seringnya ada di rumah, semakin aku mengerti sibuknya mama di rumah mengurus segala sesuatunya sendiri. Sebagai seorang anak, pastinya sudah jadi kewajiban aku untuk bantu mama dalam mengurus rumah yang juga aku tinggali. Dengan aku sering ikut membantu mama melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, aku jadi tahu bah